Suatu Hari di Teras Masjid Kompleks

Saat itu, gerimis mengguyur kompleks masjid dari siang hingga malam. Aku duduk di teras depan masjid bersama beberapa warga yang selesai berjamaah. Menikmati suara gerimis yang terdengar berirama. Lembut. Membawa kedamaian dan kesejukan bagi seluruh hati yang sedang kekeringan. Rintik-rintiknya meninggalkan bekas riak di atas genangan-genangan air di lapangan basket depan masjid. Seakan mereka sedang membuat sebuah pola bertumpuk.

Terlihat anak-anak yang tengah bermain bergembira ria di bawah guyuran gerimis. Mereka terlihat bahagia. Tertawa. Berlarian. Hingga menyepak genangan air di lapangan sampai mengenai tubuh temannya. Bahkan ada satu-dua dari mereka berseluncur bak di water boom. Aw..! Ngilu melihatnya.

Di tengah kesyahduan itu, aku membuka obrolan ringan di tengah-tengah jamaah yang tersisa di masjid. Sambil menerima kopi buatan Pak Marbut.

“Pak, bagaimana perkembangan masjid? Apakah sudah ditentukan agenda-agenda terbaru untuk tahun depan?”

Lelaki paruh baya berdarah Bugis Sulawesi itu mengubah posisi duduknya. Terlihat senyumnya mengembang di kedua pipinya. Antusias dengan pertanyaanku.

“Oh, alhamdulillah sudah, Mas Roy.” Suaranya terdengar antusias.

Lalu tangan kanannya mengambil secangkir kopi yang berada di depannya. Seakan obrolan ini begitu penting. Sehingga tidak boleh bila tenggorokan sampai kering dan lidah terasa hambar.

“Bahkan,” lanjutnya, “kita akan mengadakan renovasi masjid besar-besaran. Dan salah satu donaturnya adalah Pak Wahab. Kita sudah memusyawarahkan bersama, bahwa renovasi ini bertujuan untuk memakmurkan masjid dan jamaahnya.”

Aku masih mendengarkan penjelasannya dengan seksama. Seorang bapak yang berambut gondrong di sebelah kananku turut menyetujui langkah-langkah yang diambil pengurus masjid. Disusul Pak Muhammad yang selalu mendukung langkah-langkah moderat yang diambil oleh Pak Ahlu, lelaki berdarah Bugis. Mulai dari kepanitiaan yang terdiri dari semua kalangan, para donatur yang tanpa pamrih mendonasikan sebagian rezekinya, hingga kegotong-royongan membangun dan memakmurkan masjid dengan keringat pengurus, panitia dan juga warga.

“Bahkan Pak Wahab mengatakannya sendiri dengan jelas. Bahwa ikatan ukhuwah menjadi kunci utama perdamaian sesama muslim. Tidak ada lagi saling tuduh menuduh, sikut menyikut dan jatuh menjatuhkan.”

Tak kusadari, secarik senyum mengembang di kedua pipiku. Hatiku juga seperti dihujani bunga embun. Wajahku pun tampak disoroti oleh cahaya terang. Sangat terang. Sampai aku mengercitkan mataku karena saking silaunya.

Dan ternyata, Pak Marbut tengah menjailiku dengan lampu motornya, seraya berseru, “Mas Roy! Kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Sedang memikirkan siapa, ngomong-ngomong?!”

Aku terkejut. Dan langsung melipat senyumku.

“Ayo pulang. Yang lain juga sudah beranjak ke rumah masing-masing.” Ajaknya.

Aku gugup. Juga malu.

Ternyata, apa yang aku lihat dan rasakan baru saja hanyalah sebuah ilusi.

Ah! Begitu rupanya. Gumamku dalam hati.