Dia yang Tertuduh

Sumber: pixabay.com

Ada sebuah kisah – yang ingin kuceritakan kepada kalian.

Pada suatu hari yang tenang dan damai, angin menghembus sepoi-sepoi dan ranting pohon meliuk-liuk mengikuti hembusannya, ada sebuah kejutan yang tak terduga-duga datang kepada seorang lelaki dewasa bernama Richard. Nama yang indah, bukan? Tetapi, saat ini, saat cerita ini dibuat, nasib hidupnya tak seindah namanya. Meskipun begitu, dengan namanyalah dia bisa melanjutkan hidupnya hingga saat ini, saat cerita ini dibuat, penuh dengan keyakinan, ketegaran, kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan.

Hari itu, setelah beberapa minggu dia melakukan perjalanan panjang, dia memutuskan untuk menemui kembali pemilik gedung pertemuan di sebuah kota. Entah dengan alasan dan tujuan apa, dia tak tahu pasti. Yang dia yakini, dia harus datang menemuinya untuk sebuah alasan yang akan dia ketahui nanti. Apa yang akan terjadi setelah itu, biarlah alam yang menentukan.

Dengan langkah yang berat, dia memantapkan diri untuk masuk ke dalam gedung itu. Meskipun pikirannya dipenuhi oleh banyak hal dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dia, orang yang hidupnya penuh dengan kepasrahan, membiarkan semua yang akan terjadi biarlah terjadi. Dan dia benar. Bukankah manusia tidak mampu menentukan masa depan? Bahkan sedetik ke depan sekalipun?

Membutuhkan waktu baginya untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat. Keputusan antara ‘hidup atau mati.’ Hidup yang berarti terus berjuang memperjuangkan hak hidupnya dan segala hal yang ada di dalamnya. Mati yang berarti putus asa, memutus benang-benang merah kehidupan.

Dia terus melangkahkan kakinya menuju lokasi yang dituju. Panas terik matahari yang menyengat tak membuat goyah tekadnya. Peluh yang menetes di dahinya dia seka dengan bahu telapak tangannya. Hidup harus terus berjalan, serunya dalam hati.

Setibanya di lokasi gedung itu, dia mendapatkan ‘sambutan’ yang ramah dari pemilik gedung.

“Silakan, masuk!”

Dia mengangguk pelan. Masih belum berkata-kata. Matanya tertuju pada koridor ruangan gedung itu. Memperhatikan sebuah pintu ruangan yang pernah dia tempati beberapa waktu silam.

Gedung itu tak cukup megah jika dibandingkan dengan gedung-gedung pertemuan di tengah kota-kota besar. Hanya karena atap bangunannya yang tinggi, membuat gedung itu terlihat lebih lega dan leluasa.

Hening.

“Aku kira kau tak akan datang lagi kemari. Lama tak ada kabar darimu. Apa saja yang kau lakukan selama berada di luar sana?” Suara pemilik gedung memecah lamunannya.

Pemilik gedung itu terus menghujaninya dengan ratusan pertanyaan dan ‘tuduhan.’ Membuatnya kewalahan dalam menjawab dan menangkisnya. Dan dia, dengan nafas yang masih terengah-engah dan keringat bercucuran, berusaha menjawab semua pertanyaannya. Juga memasang argumen terhadap ‘tuduhannya.’

“Memang tuan perintis sangat peduli dengan masa depan karier anakku. Ketika dia mengajukan ‘proposal’ pada tempo hari, apakah kau layak untuk mendapatkan kepercayaan di dalam memperjuangkan kariernya, dia meminta kepadanya agar ditampakkan ‘keahlianmu’ dalam bekerja.” Suaranya menggelegar. Penuh dengan amarah. Matanya terlihat begitu merah membara.

Dan dia masih berusaha mencerna kalimatnya. Termenung. Apa maksudnya?

“Begitu juga sebaliknya, dia meminta agar ditampakkan ‘kecerobohanmu’ dalam mengemban kepercayaan itu. Dan tuan menerima proposalnya, terjadilah. Terbukti bahwa kau tak dapat mengemban kepercayaan itu. Kau telah ‘mengkhianati dan menghancurkan’ kepercayaan kami.” Tangan pemilik gedung itu mengacung ke arah mukanya. Tatapannya tajam.

Meskipun daya tangkapnya berkurang karena kelelahan, dia sungguh-sungguh merekam semua perkataannya. Untuk dipahami di kemudian hari.

Lalu dia bergumam dalam hati, benarkah semua itu? Apakah ini nyata? Mengapa? Tatapannya tiba-tiba kosong. Untuk apa dia, anaknya, mengajukan proposal banding seperti itu? Bukankah itu sebuah tindakan hipokrit terlarang?

Dari seluruh perkataan pemilik gedung dari awal hingga akhir, hanya itu yang membuatnya terdiam membisu. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya.

Dia masih terdiam, termenung. Kedua matanya hanya terarah pada meja kosong di depannya. Sejurus kemudian pemilik gedung itu bangkit dari kursinya, melangkah pergi meninggalkannya. Sendiri, tanpa jamuan.

Baru lima langkah, dia membalikkan badan ke arahnya, “Semoga ke depannya kau bisa lebih baik lagi melakukan tugasmu.” Tersenyum tipis.

Hari-hari berikutnya, kalimat itu masih melekat erat di dalam benaknya. Baginya kalimat itu membuatnya merasa aneh. Ketika sudah bertahun-tahun mengenalnya dan bekerja sama dengannya, anak pemilik gedung itu tanpa rasa bersalah mengajukan proposal banding kepada tuannya. Apakah hanya karena dia merasa lebih dekat dengan tuannya kemudian bisa melakukan apa pun yang dia inginkan saat hatinya merasa terusik oleh bisikan-bisikan keraguan itu?

Hatinya terus bergumam. Bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Berharap suatu hari nanti, dia bisa mendapatkan jawabannya. Sebuah jawaban yang akan menghentikan arus waktu masa lalu di masa depan. Karena dia yakin, itu bukan murni kesalahannya.

Dia hanya menunggu waktu. Hanya waktu yang bisa menentukan jawabannya. Dan memutuskan yang terbaik untuk semua.