Sisi ‘Baik’ Bangsa Ini, Bangsa Indonesia – Roy Amr

Sisi ‘Baik’ Bangsa Ini, Bangsa Indonesia

Sumber: pixabay.com

Indonesia memang belum bisa seperti luar negeri yang serba tertata tatanan kehidupannya, Indonesia masih kalah jauh dari negara-negara lain dari banyak aspek, aku kelak ingin tinggal di luar negeri yang jauh lebih baik dari Indonesia ideologi, kultur dan pendidikannya, atau yang lebih parah dari itu, halah! Indonesia mah gak ada apa-apanya! Merdeka saja sudah syukur. Dan lain sebagainya dari ungkapan-ungkapan separatis.

Dari kecil aku bingung ketika banyak orang menggerutu dan ‘memaki-maki’ negeri sendiri. Banyak alasannya mereka bertindak seperti itu. Ada yang bilang karena mereka tidak mendapatkan bantuan pemerintahan. Ada yang bilang karena mereka membenci rezim pemerintahan yang tengah menjabat saat itu. Ada pula yang bilang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang bodoh, bangsa yang tertinggal, tertindas dan tak berpendidikan.

Saat aku mendengar semua alasan itu, aku tak merasakan apa pun. Aku hanya melihat ekspresi yang aku artikan sebagai ungkapan rasa kesal mereka karena tak tercapai keinginannya. Usiaku yang masih terbilang anak-anak saat itu membuatku tak mengerti apa yang mereka omongkan.

Tetapi, setelah aku beranjak remaja, aku baru menyadari sesuatu. Aku menyadari bahwa hatiku merasa tersayat oleh perkataan-perkataan mereka yang tak berdasar itu. Umpatan-umpatan yang timbul karena ketidakpuasan mereka terhadap pelayanan publik dari pemerintah. Dan yang lebih parah lagi, mereka mengumpat dan menghujani sumpah serapah kepada negara sebab dihasut oleh orang lain. Artinya, tindakan mereka tidak mendasar. Sungguh naif, bukan?

Dan sekarang aku sudah dewasa – secara usia. Tak sedikit koridor kehidupan di dunia ini yang telah aku lalui. Koridor-koridor yang menyajikan berbagai pelajaran hidup sebagai manusia yang memiliki visi dan misi kemanusiaan. Manusia, sebagai makhluk yang seharusnya bisa memanusiakan manusia.

Bahkan, maaf, aku berani dengan lantang dan penuh percaya diri mengatakan, pengalamanku lebih jauh mengelana dari pada mereka – yang hanya bisa duduk mengumpat siapa pun yang terlintas di pikiran mereka. Meskipun usiaku tak lebih tua dari mereka. Setidaknya, jika mereka pernah berjalan lima langkah, aku harus berjalan selangkah lebih jauh dari mereka, walaupun hanya berjalan di pematangan sawah.

Sakit. Juga sedih dan miris. Mereka yang tak tahu apa pun dengan mudahnya terhasut. Terdoktrin oleh mulut-mulut pengujar kebencian. Padahal mereka memiliki kemampuan untuk tabayun dengan akal sehat dan hati nuraninya. Untuk membuktikan validitas dari suatu pernyataan yang sensitif dan krusial.

Untuk apa berpendidikan dan berpangkat tinggi, bergelimang harta serta dipuja-puja jika hatinya masih dipenuhi oleh kedengkian terhadap negeri sendiri. Padahal hidupnya saja bergantung pada belas kasih dari tanah yang mereka pijak.

Banyak hal yang bisa dibanggakan dari negeri ini. Kesuburan tanahnya yang tak dimiliki oleh negara-negara lain di belahan benua Afrika. Toleransi antar umat beragamanya yang tak dimiliki oleh negara-negara lain di belahan benua Amerika dan Eropa. Keramahan bangsanya yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Semangat kreativitas pemuda-pemudinya untuk memajukan bangsa dan negerinya dalam berbagai aspek. Hingga kegigihan pemerintah untuk terus meningkatkan kesejahteraan rakyat, kelengkapan infrastruktur dan pelayanan publik, serta memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia yang direnggut oleh negara lain.

Oh, satu lagi, letak geografis Indonesia yang berada di tengah garis khatulistiwa, diapit oleh dua benua dan dua samudera, membuat iklim Indonesia memiliki iklim yang sedang atau tropis. Iklim yang didamba-dambakan oleh penduduk benua Afrika. Dikutip dari Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah menjelaskan bahwa letak geografis suatu negara sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, di antaranya iklim. Iklim, menurut Ibnu Khaldun, Bapak Ilmu Sosiologi Islam, sangat mempengaruhi pembentukan karakter manusia yang tinggal di wilayahnya. Sehingga wajar bila penduduk garis khatulistiwa lebih baik dari pada penduduk kedua sisinya.

Hm. Andai kata mereka mampu membuka mata lebih lebar, gumamku dalam hati. Sehingga peribahasa ‘gajah di pelupuk mata tak tampak, sedang tampak semut di seberang lautan’ mungkin tak akan ada di kamus.

Baiklah. Aku ambil contoh perbandingan di Tunisia, negara yang terletak paling utara di Afrika dan diapit oleh Aljazair, Libya dan Laut Mediterania, misalkan. Infrastruktur, teknologi, struktur tanah, iklim hingga sistem pendidikannya tak jauh lebih baik dari pada di Indonesia. Semua yang ada di sana, sudah pasti ada di Indonesia, tetapi, semua yang ada di Indonesia, belum tentu ada di sana – tentu hal itu merupakan yang bersifat umum. Dan, ya, itulah yang aku lihat. Begitu juga dengan negara-negara tetangga.

Oleh karena itu, untuk bisa bersyukur terhadap apa yang kita miliki, kita harus melihat ke bawah. Sedangkan untuk bisa berkembang dan maju, kita harus melihat ke atas. Bukan sebaliknya. Dan yang lebih penting dari pada itu, lakukanlah yang terbaik untuk negeri ini. Terbaik dalam arti yang sesungguhnya. Bukan versi sendiri, bukan pula orang lain.