Legawa, Falsafah Jawa yang Tak Lekang oleh Zaman

Legawa, atau dalam istilah Indonesia memiliki arti menerima dengan tulus, merupakan istilah yang tidak asing bagi orang Jawa. Karena orang Jawa identik dengan kelembutannya. Dan legawa termasuk salah satu karakter yang menjadi ciri khas bagi mereka sesuai dengan tabiat dan artinya. Karakter ini tidak banyak dimiliki oleh banyak orang Jawa. Karena untuk memilikinya, seseorang harus bersungguh-sungguh dalam melatih diri. Tentu dengan tahapan-tahapan yang tidak mudah baginya. Karena legawa bukan perkara fisik, melainkan perkara batin. Dan sedikit sekali yang berhasil melaluinya.

Lebih detailnya, legawa adalah kondisi batin seseorang yang lebih memilih untuk menerima apa pun yang terjadi pada dirinya dengan hati yang lapang. Menerima yang berarti tidak menolak dan tidak membenci. Segala bentuk masalah dan kesulitan yang ada, akan dihadapinya dengan keadaan jiwa yang tenang, hati yang lapang, pikiran yang jernih, hingga sikap dan keyakinan yang teguh. Hal itu menunjukkan bahwa dia, orang yang legawa, mampu menatap huru-hara kehidupan atau badai masalah dengan pandangan yang teduh dan senyum yang indah. Menganggap bahwa semua masalah tidak akan pernah lebih besar dari pada Dzat yang telah menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini.

Ketika dihadapkan dengan ujian pilihan misalkan. Biasanya, orang akan merasa gundah, gelisah, bingung bahkan takut jika apa yang dipilihnya salah. Atau, pilihan yang seharusnya dipilih ternyata tidak dipilih karena tidak sesuai keinginannya. Sehingga hal itu akan membuatnya frustrasi atau putus asa. Atau misalkan, ketika dihadapkan dengan suatu kejutan alam semesta yang tidak seorang pun mampu menduga kedatangannya, atau sesuatu yang berada di luar ekspektasinya. Seperti perginya seseorang yang dicintainya, difitnah, dihina, disudutkan dan lain sebagainya. Biasanya, orang akan langsung diuji emosionalnya. Ada yang tidak menerimanya kemudian melawan, menyalahkan orang lain hingga timbul kebencian, jatuh terpuruk, galau, sedih yang berlarut-larut, bahkan ada pula yang sampai ingin mengakhiri hidupnya.

Berbeda halnya dengan orang yang memiliki karakter legawa. Dia akan bergeming terhadap bentuk situasi segenting apa pun. Bukan menjadi seperti patung. Bukan pula karena dia bersikap masa bodoh. Melainkan keadaan jiwanya yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain pada umumnya. Jiwanya ibarat samudera yang luas tak bertepi. Hatinya bak air yang tak beriak. Tatapan dan pandangannya seperti embun pagi yang teduh menyejukkan. Keyakinannya lebih kokoh dari pada pasak-pasak bumi. Dan keteguhannya jauh lebih tegar dan kuat dari pada ikatan batin antara ibu dan anak.

Karena orang legawa memiliki tingkat kepasrahan yang tinggi terhadap takdir atau dekret-dekret Tuhan untuk semesta dan seisinya. Tanpa ragu sedikit pun dia akan memasang badan untuk menerima segala bentuk serangan yang tertuju kepadanya. Bukan karena tubuhnya kuat perkasa, bukan pula karena dia memiliki tameng baja paling kokoh atau amunisi senjata yang tercanggih. Bukan pula karena setelah kesulitan, pasti ada kemudahan. Melainkan karena dia menempatkan dirinya seperti air. Sehingga dia tak akan pernah terluka ketika dilukai. Tak akan pernah mati sekalipun dicabik-cabik. Dia akan memeluk semua serangan derita dengan penuh kelembutan. Menyerapnya menjadi sebuah energi kekuatan baru yang mampu menguatkan jiwanya.

Seperti yang aku singgung di awal. Legawa merupakan perkara batin. Tidak mudah bagi seseorang untuk mempraktikkannya. Mempraktikkannya saja susah, apalagi memilikinya. Meskipun legawa telah diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun kepada orang Jawa, baik secara lisan dari orang tua kepada anaknya, maupun secara kultural yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Jawa antara orang yang lebih tua kepada yang lebih muda, tidak berarti setiap orang bisa menuruninya begitu saja. Karena legawa membutuhkan proses untuk bisa dimiliki seseorang, kemudian ditanamkan ke dalam alam bawah sadarnya, lalu mempraktikkannya dalam kesehariannya.

Dan legawa adalah sebuah pilihan yang selalu berkaitan dengan batin atau nurani manusia. Legawa bukanlah sebuah hal yang tiba-tiba datang begitu saja. Tetapi itu adalah sikap yang hadir karena seseorang memang lebih memilih untuk menerima hal yang tidak baik itu dan menjadikannya sebagai pelajaran hidup. Untuk bisa memilikinya, dia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya yang selalu ingin menang. Menahan diri dari perbuatan angkara murka ketika dihadapkan dengan situasi yang sulit. Memang tidak mudah melakukannya, tetapi setelah menemukan jalannya dan menikmati hasilnya, dia akan mengerti bahwa legawa adalah kunci kebahagiaan hidupnya.

Kendati demikian, ada hal yang harus dipahami dari sikap legawa dan karakter orang Jawa pada umumnya. Barangkali, yang dimaksud kebanyakan orang tentang karakter orang Jawa yang serba menerima bukanlah makna asli dari sikap legawa. Melainkan itu hanyalah turunan gen Jawa yang berkarakter lemah lembut. Karena tidak sedikit orang Jawa yang memiliki gen tersebut. Bahkan mayoritas memilikinya. Tetapi jarang sekali yang memiliki sikap legawa. Perbedaannya juga cukup menonjol. Jika orang biasa, menerima suatu keadaan sulit seringnya dengan syarat dan terpaksa. Tetapi orang legawa, menerimanya dengan lapang dada dan tulus tanpa syarat.

Oleh karena itu, orang yang legawa biasanya adalah orang yang memiliki pribadi yang tangguh, tidak mengeluh atas suatu cobaan sulit yang dihadapinya, dan tidak terpengaruh oleh emosional yang negatif, meskipun tidak banyak orang yang bisa melihat ketangguhannya. Hal itu disebabkan oleh kebiasaan orang-orang yang lebih tertarik untuk melihat sisi ‘kekalahannya’ saja. Karena kekalahan identik dengan kelemahan dan kelemahan sangat tidak menarik untuk dilihat. Sedangkan bagaimana sikapnya setelah menerima kekalahan itu mereka abaikan. Hanya sedikit yang memperhatikan dan memahaminya. Padahal, orang legawa bukanlah kalah yang sesungguhnya, melainkan mengalah untuk alasan yang terbaik yang orang lain tidak mampu mengetahui dan melakukannya.

~*~

Seperti itulah falsafah Jawa yang diajarkan oleh nenek moyangnya secara turun temurun. Bahkan sejak abad ke-15, falsafah itu telah diajarkan di ranah pendidikan informal yang sekarang dikenal dengan sebutan pondok pesantren. Dari pesantren inilah cikal bakal terbentuknya falsafah Jawa berupa legawa menjadi lebih berkembang, lebih maju dan lebih luas makna dan cakupannya melalui ulama cendekiawan. Legawa tidak lagi hanya sebatas menerima situasi sulit dengan lapang dada saja, tetapi berkembang dengan menyesuaikan perkembangan zaman. Seperti bagaimana meletakkan legawa di situasi yang dilematik.

Situasi dilematik yang aku maksud adalah saat seseorang menghadapi situasi sulit yang tidak hanya tertuju kepada dirinya sendiri dan harus memilih sikap yang membawa maslahat untuk orang lain. Biasanya situasi seperti itu terjadi dalam lingkup komunitas, organisasi atau hubungan politik. Di pesantren, seorang kyai akan mendidik santrinya tidak hanya menjadi orang yang tangguh dengan sikap legawanya, tetapi juga mendidiknya dengan falsafah-falsafah kehidupan lainnya yang mampu menjadikannya seorang santri yang berjiwa besar dan bertanggung jawab sekalipun dihadapkan dengan situasi yang dilematik.

Karena pesantren mengetahui betul bahwa dunia tanpa agama dan falsafah hidup, akan terjadi ketimpangan dan kehancuran. Senada dengan itu, Gus Baha lebih jelas mengatakan, “Orang jenius tanpa didasari ilmu agama, itu sangat berbahaya dan menakutkan. Karena segala sesuatu yang dilakukan olehnya tanpa diimbangi dengan agama, sehingga membuatnya tak terkendali dalam bertindak.”

Kejutan

Sumber gambar: liputan6.com

Setiap detik dalam kehidupan ini selalu menyimpan banyak kejutan yang tak pernah diduga oleh siapa pun. Kejutan yang datang entah dari mana asalnya dan bagaimana proses datangnya. Dia selalu berbentuk misteri.

Aku menyebutnya kejutan, karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi sedetik kemudian dalam kehidupan ini. Bahkan seorang ibu hamil tidak pernah tahu kehidupan janin dalam kandungannya sedetik kemudian, sekalipun mereka berada dalam satu tubuh. Jika Allah berkehendak janin itu terlahir dalam kurun waktu yang tidak wajar – lebih singkat atau lebih lama, maka tidak mustahil bagi-Nya untuk melakukannya. Dan ketika Dia menyerukan terjadilah!, maka terjadilah semua itu atas kehendak-Nya. Sang ibu hanya bisa menerimanya tanpa ada hak penolakan.

Itulah yang aku sebut kejutan. Sebuah jalan cerita yang tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benak manusia. Yang terkadang, bagi sebagian orang tentunya, itu merupakan sesuatu yang sangat mengerikan dan menakutkan. Seakan dia adalah sosok tukang parkir pinggir jalan yang tiba-tiba muncul saat pemilik kendaraan hendak beranjak pergi setelah selesai berbelanja. Dengan santainya dia menghampiri pemilik kendaraan seraya memasang wajah ‘menyebalkan’ dan berkata, “Dua ribu, Kak!”

Atau seperti sosok jailangkung, yang datang tak diundang dan pulang tak diantar. Tetapi sayangnya, kejutan tak pernah kembali untuk pulang, meskipun ada yang berkenan mengantarnya – Mang Ojol misalnya. Dia akan menetap selamanya bersama orang yang dia tuju. Membekas dalam ingatannya. Menyisakan suka ataupun duka dalam hatinya. Memberikan kenangan yang melekat dalam hidupnya. Bahkan, kehadirannya menyematkan sebuah tanda di setiap mata yang tertuju kepada penerimanya. Dan untuk ke sekian kalinya, manusia hanya bisa menerimanya tanpa ada hak penolakan.

Bagi mereka yang beruntung, kejutan akan datang menghampirinya dalam bentuk yang menyenangkan. Yang mampu memberikan kebahagiaan bagi penerimanya. Mata yang berbinar indah. Wajah yang cerah bahagia. Dan kedua pipi yang mengembang tersenyum dengan tulus. Menyihirnya dalam sekejap. Dan membuatnya melupakan segala hal. Seakan kejutan itu menjadi penyejuk sekaligus penyembuh bagi setiap luka yang masih belum terobati.

Namun, bagaimana bagi mereka yang kurang beruntung seperti itu? Yang melihat kejutan datang menghampirinya dalam wujud yang mengerikan. Matanya yang tajam kemerahan. Bermuka masam. Penuh kegarangan. Seakan seluruh semesta murka terhadap dirinya tanpa alasan dan ingin menghakiminya dengan satu ketukan palu Thor di meja hijau. Dar! Terdiam membisu. Menatap semua itu dengan tatapan yang penuh dengan kengerian. Takut. Sekaligus tidak mengerti apa yang sedang dialaminya. Mungkin, jika waktu bisa diputar kembali, dia ingin melakukan apa pun agar bisa mengubah hal yang mengerikan itu tidak terjadi dalam kehidupannya. Tetapi hal itu hanya ada di dunia Marvel dengan teori kuantum dan mesin waktunya.

Jika kita tilik lebih dalam, memang begitulah kejutan datang menghampiri setiap target pilihannya. Anggap saja, itu sebuah ‘bonus’ dari semesta untuk manusia. Manusia, yang dalam titahnya, menjalankan roda kehidupan dengan atau tanpa pilihan dan kehendaknya. Karena manusia, ketika terlahir di dunia, telah mendapatkan label paten dari Sang Penciptanya untuk menjalankan segala bentuk dekret yang tersemat dalam dirinya. Dan untuk ke sekian kalinya, manusia hanya bisa menerimanya tanpa ada hak penolakan.

Tetapi nasib manusia memang tidak ada yang tahu. Yang dalam kesehariannya terlihat baik, belum tentu nasibnya mujur. Yang dalam kesehariannya terlihat buruk, belum tentu bernasib naas. Semuanya tergantung kepada keputusan Allah. Karena itu merupakan hak prerogatif-Nya sebagai Tuhan.

Jika kita amati dengan seksama, Allah ingin menunjukkan kebesaran-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan cara yang unik. Dia ingin manusia memahami tentang banyak hal, khususnya tentang dirinya dan keesaan-Nya. Dengan memberi manusia kejutan, Dia akan segera mengetahui reaksinya terhadap pemberian-Nya. Dan manusia akan memahami kadar kualitas dirinya dan akan membuka lebih lebar cara memaknai arti sebuah kehidupan. Meskipun, semua itu harus memakan waktu yang relatif tidak sedikit.

Kendati demikian, ada satu hal yang perlu kamu ingat baik-baik. Milikilah sikap legawa. Karena sikap legawa akan membawamu kepada kedamaian jiwa, ketenangan hati, kejernihan pikiran, terarahnya tujuan, terkendalinya emosional dan hasrat, hingga kewibawaan dan kebijaksanaan yang tak banyak dimiliki oleh kebanyakan orang pada umumnya. Dan dia seperti perpaduan antara air, api, udara dan tanah, yang apabila dipersatukan akan mampu menciptakan keseimbangan dan kekuatan yang tak pernah terukur.

Dia yang Tertuduh

Sumber: pixabay.com

Ada sebuah kisah – yang ingin kuceritakan kepada kalian.

Pada suatu hari yang tenang dan damai, angin menghembus sepoi-sepoi dan ranting pohon meliuk-liuk mengikuti hembusannya, ada sebuah kejutan yang tak terduga-duga datang kepada seorang lelaki dewasa bernama Richard. Nama yang indah, bukan? Tetapi, saat ini, saat cerita ini dibuat, nasib hidupnya tak seindah namanya. Meskipun begitu, dengan namanyalah dia bisa melanjutkan hidupnya hingga saat ini, saat cerita ini dibuat, penuh dengan keyakinan, ketegaran, kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan.

Hari itu, setelah beberapa minggu dia melakukan perjalanan panjang, dia memutuskan untuk menemui kembali pemilik gedung pertemuan di sebuah kota. Entah dengan alasan dan tujuan apa, dia tak tahu pasti. Yang dia yakini, dia harus datang menemuinya untuk sebuah alasan yang akan dia ketahui nanti. Apa yang akan terjadi setelah itu, biarlah alam yang menentukan.

Dengan langkah yang berat, dia memantapkan diri untuk masuk ke dalam gedung itu. Meskipun pikirannya dipenuhi oleh banyak hal dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dia, orang yang hidupnya penuh dengan kepasrahan, membiarkan semua yang akan terjadi biarlah terjadi. Dan dia benar. Bukankah manusia tidak mampu menentukan masa depan? Bahkan sedetik ke depan sekalipun?

Membutuhkan waktu baginya untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat. Keputusan antara ‘hidup atau mati.’ Hidup yang berarti terus berjuang memperjuangkan hak hidupnya dan segala hal yang ada di dalamnya. Mati yang berarti putus asa, memutus benang-benang merah kehidupan.

Dia terus melangkahkan kakinya menuju lokasi yang dituju. Panas terik matahari yang menyengat tak membuat goyah tekadnya. Peluh yang menetes di dahinya dia seka dengan bahu telapak tangannya. Hidup harus terus berjalan, serunya dalam hati.

Setibanya di lokasi gedung itu, dia mendapatkan ‘sambutan’ yang ramah dari pemilik gedung.

“Silakan, masuk!”

Dia mengangguk pelan. Masih belum berkata-kata. Matanya tertuju pada koridor ruangan gedung itu. Memperhatikan sebuah pintu ruangan yang pernah dia tempati beberapa waktu silam.

Gedung itu tak cukup megah jika dibandingkan dengan gedung-gedung pertemuan di tengah kota-kota besar. Hanya karena atap bangunannya yang tinggi, membuat gedung itu terlihat lebih lega dan leluasa.

Hening.

“Aku kira kau tak akan datang lagi kemari. Lama tak ada kabar darimu. Apa saja yang kau lakukan selama berada di luar sana?” Suara pemilik gedung memecah lamunannya.

Pemilik gedung itu terus menghujaninya dengan ratusan pertanyaan dan ‘tuduhan.’ Membuatnya kewalahan dalam menjawab dan menangkisnya. Dan dia, dengan nafas yang masih terengah-engah dan keringat bercucuran, berusaha menjawab semua pertanyaannya. Juga memasang argumen terhadap ‘tuduhannya.’

“Memang tuan perintis sangat peduli dengan masa depan karier anakku. Ketika dia mengajukan ‘proposal’ pada tempo hari, apakah kau layak untuk mendapatkan kepercayaan di dalam memperjuangkan kariernya, dia meminta kepadanya agar ditampakkan ‘keahlianmu’ dalam bekerja.” Suaranya menggelegar. Penuh dengan amarah. Matanya terlihat begitu merah membara.

Dan dia masih berusaha mencerna kalimatnya. Termenung. Apa maksudnya?

“Begitu juga sebaliknya, dia meminta agar ditampakkan ‘kecerobohanmu’ dalam mengemban kepercayaan itu. Dan tuan menerima proposalnya, terjadilah. Terbukti bahwa kau tak dapat mengemban kepercayaan itu. Kau telah ‘mengkhianati dan menghancurkan’ kepercayaan kami.” Tangan pemilik gedung itu mengacung ke arah mukanya. Tatapannya tajam.

Meskipun daya tangkapnya berkurang karena kelelahan, dia sungguh-sungguh merekam semua perkataannya. Untuk dipahami di kemudian hari.

Lalu dia bergumam dalam hati, benarkah semua itu? Apakah ini nyata? Mengapa? Tatapannya tiba-tiba kosong. Untuk apa dia, anaknya, mengajukan proposal banding seperti itu? Bukankah itu sebuah tindakan hipokrit terlarang?

Dari seluruh perkataan pemilik gedung dari awal hingga akhir, hanya itu yang membuatnya terdiam membisu. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya.

Dia masih terdiam, termenung. Kedua matanya hanya terarah pada meja kosong di depannya. Sejurus kemudian pemilik gedung itu bangkit dari kursinya, melangkah pergi meninggalkannya. Sendiri, tanpa jamuan.

Baru lima langkah, dia membalikkan badan ke arahnya, “Semoga ke depannya kau bisa lebih baik lagi melakukan tugasmu.” Tersenyum tipis.

Hari-hari berikutnya, kalimat itu masih melekat erat di dalam benaknya. Baginya kalimat itu membuatnya merasa aneh. Ketika sudah bertahun-tahun mengenalnya dan bekerja sama dengannya, anak pemilik gedung itu tanpa rasa bersalah mengajukan proposal banding kepada tuannya. Apakah hanya karena dia merasa lebih dekat dengan tuannya kemudian bisa melakukan apa pun yang dia inginkan saat hatinya merasa terusik oleh bisikan-bisikan keraguan itu?

Hatinya terus bergumam. Bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Berharap suatu hari nanti, dia bisa mendapatkan jawabannya. Sebuah jawaban yang akan menghentikan arus waktu masa lalu di masa depan. Karena dia yakin, itu bukan murni kesalahannya.

Dia hanya menunggu waktu. Hanya waktu yang bisa menentukan jawabannya. Dan memutuskan yang terbaik untuk semua.

Suatu Hari di Teras Masjid Kompleks

Saat itu, gerimis mengguyur kompleks masjid dari siang hingga malam. Aku duduk di teras depan masjid bersama beberapa warga yang selesai berjamaah. Menikmati suara gerimis yang terdengar berirama. Lembut. Membawa kedamaian dan kesejukan bagi seluruh hati yang sedang kekeringan. Rintik-rintiknya meninggalkan bekas riak di atas genangan-genangan air di lapangan basket depan masjid. Seakan mereka sedang membuat sebuah pola bertumpuk.

Terlihat anak-anak yang tengah bermain bergembira ria di bawah guyuran gerimis. Mereka terlihat bahagia. Tertawa. Berlarian. Hingga menyepak genangan air di lapangan sampai mengenai tubuh temannya. Bahkan ada satu-dua dari mereka berseluncur bak di water boom. Aw..! Ngilu melihatnya.

Di tengah kesyahduan itu, aku membuka obrolan ringan di tengah-tengah jamaah yang tersisa di masjid. Sambil menerima kopi buatan Pak Marbut.

“Pak, bagaimana perkembangan masjid? Apakah sudah ditentukan agenda-agenda terbaru untuk tahun depan?”

Lelaki paruh baya berdarah Bugis Sulawesi itu mengubah posisi duduknya. Terlihat senyumnya mengembang di kedua pipinya. Antusias dengan pertanyaanku.

“Oh, alhamdulillah sudah, Mas Roy.” Suaranya terdengar antusias.

Lalu tangan kanannya mengambil secangkir kopi yang berada di depannya. Seakan obrolan ini begitu penting. Sehingga tidak boleh bila tenggorokan sampai kering dan lidah terasa hambar.

“Bahkan,” lanjutnya, “kita akan mengadakan renovasi masjid besar-besaran. Dan salah satu donaturnya adalah Pak Wahab. Kita sudah memusyawarahkan bersama, bahwa renovasi ini bertujuan untuk memakmurkan masjid dan jamaahnya.”

Aku masih mendengarkan penjelasannya dengan seksama. Seorang bapak yang berambut gondrong di sebelah kananku turut menyetujui langkah-langkah yang diambil pengurus masjid. Disusul Pak Muhammad yang selalu mendukung langkah-langkah moderat yang diambil oleh Pak Ahlu, lelaki berdarah Bugis. Mulai dari kepanitiaan yang terdiri dari semua kalangan, para donatur yang tanpa pamrih mendonasikan sebagian rezekinya, hingga kegotong-royongan membangun dan memakmurkan masjid dengan keringat pengurus, panitia dan juga warga.

“Bahkan Pak Wahab mengatakannya sendiri dengan jelas. Bahwa ikatan ukhuwah menjadi kunci utama perdamaian sesama muslim. Tidak ada lagi saling tuduh menuduh, sikut menyikut dan jatuh menjatuhkan.”

Tak kusadari, secarik senyum mengembang di kedua pipiku. Hatiku juga seperti dihujani bunga embun. Wajahku pun tampak disoroti oleh cahaya terang. Sangat terang. Sampai aku mengercitkan mataku karena saking silaunya.

Dan ternyata, Pak Marbut tengah menjailiku dengan lampu motornya, seraya berseru, “Mas Roy! Kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Sedang memikirkan siapa, ngomong-ngomong?!”

Aku terkejut. Dan langsung melipat senyumku.

“Ayo pulang. Yang lain juga sudah beranjak ke rumah masing-masing.” Ajaknya.

Aku gugup. Juga malu.

Ternyata, apa yang aku lihat dan rasakan baru saja hanyalah sebuah ilusi.

Ah! Begitu rupanya. Gumamku dalam hati.