Semakin Luas Pandangan Seseorang, Semakin Sedikit Pengingkarannya

Sebuah relaksasi yang berangkat dari perjalanan singkatku di Bumi Ibnu Khaldun, Tunisia.

Pernahkah kamu berangan-angan, atau paling tidak terbesit dalam benakmu, tentang waktu pelaksanaan shalat Jumat yang ‘tidak lazim’ di sekitar tempat tinggalmu? Shalat Jumat di akhir waktu dzuhur misalkan. Kira-kira apa yang kamu pikirkan? Dan apa yang akan terjadi dengan diri kamu – jika itu adalah hal yang sudah ada sejak lama namun baru terdengar telingamu? Heran? Kaget? Bertanya-tanya? Atau  justru mengingkarinya?

Dua hari yang lalu, saat aku sedang mengaji kitab hadis karya Al-Bukhari – di kediaman guruku, beliau mengingatkanku tentang sebuah perjalanan singkat dua tahun silam. Saat aku tengah mendengarkan penjelasan guruku tentang sebuah hadis, guruku menanyaiku tentang jumlah waktu shalat Jumat di Tunisia. Karena di sana, waktu pelaksanaan shalat Jumat berbeda dengan waktu pelaksanaannya di berbagai wilayah negara Islam di dunia.

Jika pada umumnya shalat Jumat hanya dilaksanakan pada awal waktu shalat dzuhur dan hanya sekali dalam satu waktu tersebut, namun di Ibukota yang terkenal dengan sebutan seribu kafe justru berbeda pelaksanaannya. Di sana shalat Jumat dilaksanakan dalam waktu yang berbeda-beda. Jadi, setiap masjid yang mendirikan shalat Jumat menyesuaikan jadwal waktu pelaksanaan yang telah ditentukan di daerahnya masing-masing.

Ada masjid yang mendirikan shalat Jumat di awal waktu. Ada pula yang mendirikannya di akhir waktu. Dan ada pula yang mendirikannya di antara kedua waktu tersebut. Setiap masjid memiliki sebab dan alasan dalam penentuan waktu itu. Sebab dan alasannya pun sangat mendasar. Di antaranya, mereka memiliki rujukan yang kuat dalam beragama, seperti Imam Malik dalam bidang Fikih, Ibn ‘Asyur dalam bidang maqashid syari’ah dan Ibn Khaldun dalam bidang sosiologi.

Setiap orang yang mengetahui dan menyaksikan langsung fenomena tersebut untuk kali pertamanya pasti akan terpana – mungkin juga bingung, kok bisa? Apalagi bagi yang belum mengetahui dasar hukumnya, pasti akan bertanya-tanya dalam benaknya. Dan bagi orang yang fanatik hukum, atau paling mentok orang yang saklek dalam beragama dengan latar belakang apa pun, juga pasti akan mengingkari fenomena fikih ibadah tersebut. Namun inilah yang terjadi, bahwa Islam memiliki keberagaman beragama; bermuamalah yang tidak hanya dengan manusia tetapi juga dengan Tuhannya.

Sebagaimana yang kita tahu, di dalam agama Islam shalat merupakan salah satu rukun Islam yang harus dipenuhi oleh setiap pemeluknya yang laki-laki. Tak terkecuali shalat Jumat. Selain karena shalat sebagai tiang agama, namun juga karena shalat Jumat sebagai simbol persatuan umat muslim sedunia. Di tengah-tengah kesibukannya, umat muslim harus bisa menyempatkan waktunya untuk menunaikan shalat Jumat tepat pada waktunya. Karena jika seorang muslim sengaja meninggalkannya sebanyak sekali, dua kali, tiga kali, atau lebih, maka dia akan mendapatkan konsekuensinya menurut syariat Islam.

Nah, di sinilah letak keunikan yang ada di Tunis. Untuk menjaga kemaslahatan umat muslim dan agamanya, Tunis melakukan gebrakan dalam ranah ijtihad hukum fikih. Seperti yang sudah menjadi rahasia umum dalam Islam, saat urusan agama dan dunia disandingkan, maka akan dihasilkan ‘produk baru’ – jika boleh dikatakan demikian – dalam menjaga maslahat kehidupan, terutama manusia dan agama, dari berbagai aspek.

Dalam hal ini Tunis telah melahirkan seorang tokoh spektakuler yang memprakarsai munculnya bidang ilmu maqaashid al-syari’ah yang sangat fenomenal. Tunis, dengan corak keislaman yang kebarat-baratan, menuntut para tokohnya untuk mencari jalan tengah dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Sehingga dengan maqashid, Tunis telah menjaga umat muslim tetap menunaikan shalat Jumat meski berbeda-beda waktunya.

Jadi, saat aku berada di sana, aku mencoba untuk mencari tahu alasan mengapa di Tunis melakukan shalat Jumat terbagi menjadi tiga waktu. Setelah aku melakukan ‘peninjauan’ lapangan dengan shalat langsung di masjid-masjid yang menerapkan salah satu dari tiga waktu tersebut, aku menemukan beberapa alasan.

Pertama, pemahaman konteks narasi agama yang berbeda. Kedua, pemahaman maqashid syari’ah yang sangat mendalam. Ketiga, kondisi sosial atau masyarakat muslim yang beragam. Dan – mungkin – keempat, kondisi tata letak kota dan bangunan masjid yang masih terbatas. Serta – kata beberapa warga asli sana – pengaruh budaya barat yang secara de facto masih menjajah negara mereka.

Dari fenomena seperti itu, aku banyak termenung dan kemudian memikirkan proses sampainya ajaran-ajaran Islam dari masa risalah kenabian hingga dewasa ini. Berabad-abad lamanya Islam telah berjaya dan akan selamanya terus kokoh berdiri. Tentu Islam dan umatnya telah melewati berbagai macam proses tempa yang begitu panjang nan rumit. Hingga pada setiap masanya, Islam selalu melahirkan tokoh-tokoh yang selalu menjaga kestabilan dunia dan agama serta akhirat.

Lantas, dengan berbagai alasan atau sebab itu, ternyata benar bahwa semakin luas penglihatan dan pandangan seseorang, maka akan sedikit pengingkarannya terhadap segala sesuatu. Sehingga patut dan pantas – atau sepatutnya dan sepantasnya – bagi orang yang telah memiliki penglihatan dan pandangan yang luas hasil dari perjalanannya yang tidak pendek dan singkat untuk bersikap bersahaja, adil, tidak banyak ingkar, bijak dan luas pandang. Hal itu senada dengan yang dikatakan oleh salah satu ulama Tunis, من اتسع علمه، قل إنكاره, artinya orang yang luas ilmunya maka sedikit ingkarnya. Atau seperti yang dikatakan dan dipraktikkan oleh guru saya, من اتسع نظره، قل إنكاره, artinya orang yang luas pandangan atau pengalamannya maka sedikit keingkarannya.

Legawa, Falsafah Jawa yang Tak Lekang oleh Zaman

Legawa, atau dalam istilah Indonesia memiliki arti menerima dengan tulus, merupakan istilah yang tidak asing bagi orang Jawa. Karena orang Jawa identik dengan kelembutannya. Dan legawa termasuk salah satu karakter yang menjadi ciri khas bagi mereka sesuai dengan tabiat dan artinya. Karakter ini tidak banyak dimiliki oleh banyak orang Jawa. Karena untuk memilikinya, seseorang harus bersungguh-sungguh dalam melatih diri. Tentu dengan tahapan-tahapan yang tidak mudah baginya. Karena legawa bukan perkara fisik, melainkan perkara batin. Dan sedikit sekali yang berhasil melaluinya.

Lebih detailnya, legawa adalah kondisi batin seseorang yang lebih memilih untuk menerima apa pun yang terjadi pada dirinya dengan hati yang lapang. Menerima yang berarti tidak menolak dan tidak membenci. Segala bentuk masalah dan kesulitan yang ada, akan dihadapinya dengan keadaan jiwa yang tenang, hati yang lapang, pikiran yang jernih, hingga sikap dan keyakinan yang teguh. Hal itu menunjukkan bahwa dia, orang yang legawa, mampu menatap huru-hara kehidupan atau badai masalah dengan pandangan yang teduh dan senyum yang indah. Menganggap bahwa semua masalah tidak akan pernah lebih besar dari pada Dzat yang telah menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini.

Ketika dihadapkan dengan ujian pilihan misalkan. Biasanya, orang akan merasa gundah, gelisah, bingung bahkan takut jika apa yang dipilihnya salah. Atau, pilihan yang seharusnya dipilih ternyata tidak dipilih karena tidak sesuai keinginannya. Sehingga hal itu akan membuatnya frustrasi atau putus asa. Atau misalkan, ketika dihadapkan dengan suatu kejutan alam semesta yang tidak seorang pun mampu menduga kedatangannya, atau sesuatu yang berada di luar ekspektasinya. Seperti perginya seseorang yang dicintainya, difitnah, dihina, disudutkan dan lain sebagainya. Biasanya, orang akan langsung diuji emosionalnya. Ada yang tidak menerimanya kemudian melawan, menyalahkan orang lain hingga timbul kebencian, jatuh terpuruk, galau, sedih yang berlarut-larut, bahkan ada pula yang sampai ingin mengakhiri hidupnya.

Berbeda halnya dengan orang yang memiliki karakter legawa. Dia akan bergeming terhadap bentuk situasi segenting apa pun. Bukan menjadi seperti patung. Bukan pula karena dia bersikap masa bodoh. Melainkan keadaan jiwanya yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain pada umumnya. Jiwanya ibarat samudera yang luas tak bertepi. Hatinya bak air yang tak beriak. Tatapan dan pandangannya seperti embun pagi yang teduh menyejukkan. Keyakinannya lebih kokoh dari pada pasak-pasak bumi. Dan keteguhannya jauh lebih tegar dan kuat dari pada ikatan batin antara ibu dan anak.

Karena orang legawa memiliki tingkat kepasrahan yang tinggi terhadap takdir atau dekret-dekret Tuhan untuk semesta dan seisinya. Tanpa ragu sedikit pun dia akan memasang badan untuk menerima segala bentuk serangan yang tertuju kepadanya. Bukan karena tubuhnya kuat perkasa, bukan pula karena dia memiliki tameng baja paling kokoh atau amunisi senjata yang tercanggih. Bukan pula karena setelah kesulitan, pasti ada kemudahan. Melainkan karena dia menempatkan dirinya seperti air. Sehingga dia tak akan pernah terluka ketika dilukai. Tak akan pernah mati sekalipun dicabik-cabik. Dia akan memeluk semua serangan derita dengan penuh kelembutan. Menyerapnya menjadi sebuah energi kekuatan baru yang mampu menguatkan jiwanya.

Seperti yang aku singgung di awal. Legawa merupakan perkara batin. Tidak mudah bagi seseorang untuk mempraktikkannya. Mempraktikkannya saja susah, apalagi memilikinya. Meskipun legawa telah diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun kepada orang Jawa, baik secara lisan dari orang tua kepada anaknya, maupun secara kultural yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Jawa antara orang yang lebih tua kepada yang lebih muda, tidak berarti setiap orang bisa menuruninya begitu saja. Karena legawa membutuhkan proses untuk bisa dimiliki seseorang, kemudian ditanamkan ke dalam alam bawah sadarnya, lalu mempraktikkannya dalam kesehariannya.

Dan legawa adalah sebuah pilihan yang selalu berkaitan dengan batin atau nurani manusia. Legawa bukanlah sebuah hal yang tiba-tiba datang begitu saja. Tetapi itu adalah sikap yang hadir karena seseorang memang lebih memilih untuk menerima hal yang tidak baik itu dan menjadikannya sebagai pelajaran hidup. Untuk bisa memilikinya, dia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya yang selalu ingin menang. Menahan diri dari perbuatan angkara murka ketika dihadapkan dengan situasi yang sulit. Memang tidak mudah melakukannya, tetapi setelah menemukan jalannya dan menikmati hasilnya, dia akan mengerti bahwa legawa adalah kunci kebahagiaan hidupnya.

Kendati demikian, ada hal yang harus dipahami dari sikap legawa dan karakter orang Jawa pada umumnya. Barangkali, yang dimaksud kebanyakan orang tentang karakter orang Jawa yang serba menerima bukanlah makna asli dari sikap legawa. Melainkan itu hanyalah turunan gen Jawa yang berkarakter lemah lembut. Karena tidak sedikit orang Jawa yang memiliki gen tersebut. Bahkan mayoritas memilikinya. Tetapi jarang sekali yang memiliki sikap legawa. Perbedaannya juga cukup menonjol. Jika orang biasa, menerima suatu keadaan sulit seringnya dengan syarat dan terpaksa. Tetapi orang legawa, menerimanya dengan lapang dada dan tulus tanpa syarat.

Oleh karena itu, orang yang legawa biasanya adalah orang yang memiliki pribadi yang tangguh, tidak mengeluh atas suatu cobaan sulit yang dihadapinya, dan tidak terpengaruh oleh emosional yang negatif, meskipun tidak banyak orang yang bisa melihat ketangguhannya. Hal itu disebabkan oleh kebiasaan orang-orang yang lebih tertarik untuk melihat sisi ‘kekalahannya’ saja. Karena kekalahan identik dengan kelemahan dan kelemahan sangat tidak menarik untuk dilihat. Sedangkan bagaimana sikapnya setelah menerima kekalahan itu mereka abaikan. Hanya sedikit yang memperhatikan dan memahaminya. Padahal, orang legawa bukanlah kalah yang sesungguhnya, melainkan mengalah untuk alasan yang terbaik yang orang lain tidak mampu mengetahui dan melakukannya.

~*~

Seperti itulah falsafah Jawa yang diajarkan oleh nenek moyangnya secara turun temurun. Bahkan sejak abad ke-15, falsafah itu telah diajarkan di ranah pendidikan informal yang sekarang dikenal dengan sebutan pondok pesantren. Dari pesantren inilah cikal bakal terbentuknya falsafah Jawa berupa legawa menjadi lebih berkembang, lebih maju dan lebih luas makna dan cakupannya melalui ulama cendekiawan. Legawa tidak lagi hanya sebatas menerima situasi sulit dengan lapang dada saja, tetapi berkembang dengan menyesuaikan perkembangan zaman. Seperti bagaimana meletakkan legawa di situasi yang dilematik.

Situasi dilematik yang aku maksud adalah saat seseorang menghadapi situasi sulit yang tidak hanya tertuju kepada dirinya sendiri dan harus memilih sikap yang membawa maslahat untuk orang lain. Biasanya situasi seperti itu terjadi dalam lingkup komunitas, organisasi atau hubungan politik. Di pesantren, seorang kyai akan mendidik santrinya tidak hanya menjadi orang yang tangguh dengan sikap legawanya, tetapi juga mendidiknya dengan falsafah-falsafah kehidupan lainnya yang mampu menjadikannya seorang santri yang berjiwa besar dan bertanggung jawab sekalipun dihadapkan dengan situasi yang dilematik.

Karena pesantren mengetahui betul bahwa dunia tanpa agama dan falsafah hidup, akan terjadi ketimpangan dan kehancuran. Senada dengan itu, Gus Baha lebih jelas mengatakan, “Orang jenius tanpa didasari ilmu agama, itu sangat berbahaya dan menakutkan. Karena segala sesuatu yang dilakukan olehnya tanpa diimbangi dengan agama, sehingga membuatnya tak terkendali dalam bertindak.”

Manusia dan Kecerdasannya Terhadap Revolusi Industri

Sumber: pixabay.com

Membahas manusia selalu menjadi topik yang menarik. Berinteraksi dengannya sering kali mengundang tantangan-tantangan baru. Mengamatinya pun menjadi suatu pekerjaan yang penuh kemisteriusan. Meskipun tak dapat dipungkiri, bahwa semua yang berkaitan dengan manusia selalu menjadi pusat perhatian para ilmuwan. Segala bentuk perubahan dari yang kasat mata hingga yang tak kasat mata, tak luput dari fokus mereka. Sekalipun itu berlawanan dengan norma-norma kemanusiaan. Semua itu dilakukan hanya untuk menemukan kemajuan kehidupan dengan memecahkan misteri-misteri yang masih belum terungkap.

Ketika membicarakan ihwal manusia, seakan bahan itu tak pernah habis dilahap. Manusia memang selalu berubah-ubah dari masa ke masa. Mereka berkembang dan maju dalam segala aspek kehidupan. Melakukan berbagai perubahan untuk memakmurkan kehidupan di bumi. Tangan-tangannya yang terampil menghasilkan karya-karya yang fenomenal. Kecerdasannya yang tak terbatas pada satu titik mampu menemukan inovasi-inovasi terbaru untuk menunjang kehidupan umat di bumi. Mulai dari penemuan terbaru hingga pembaharuan-pembaharuannya oleh tangan para ilmuwan ahli. Semua itu berangkat dari skeptisisme mereka terhadap hal-hal baru yang belum diketahui oleh mereka.

Mereka lalu menggencarkan penelitian-penelitian dari masa ke masa. Dalam bidang sosiologi misalkan, banyak para ilmuwan meneliti perkembangan manusia beserta kemajuannya dalam menjalankan titahnya sebagai makhluk sosial. Mereka meneliti perubahan perilaku manusia dalam berinteraksi satu sama lain, baik dalam skala mikro seperti individu atau keluarga; skala meso seperti kelompok, komunitas atau masyarakat; maupun skala makro seperti negara atau komunitas dunia. Sehingga mereka mampu menghasilkan suatu kesimpulan yang dihasilkan dari perubahan perilaku manusia dari masa ke masa di suatu wilayah.

Kesimpulan inilah yang nantinya mampu menjawab tantangan demi tantangan dalam menghadapi perkembangan dan kemajuan revolusi industri. Karena pelaku terciptanya revolusi industri ialah manusia itu sendiri, pemilik tangan-tangan terampil dengan otak yang brilian. Maka wajar bila revolusi industri yang merupakan sebuah perkembangan teknologi yang terjadi antara tahun 1750 – 1850 akan mengubah segala bentuk kegiatan di dalam bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi hingga teknologi. Penemuan inilah yang merupakan cikal bakal terjadinya revolusi besar-besaran dalam sejarah peradaban manusia.

Atau, dalam bidang lain seperti sains, tak sedikit para saintis yang mencurahkan seluruh waktu dan pikirannya untuk meneliti kandungan-kandungan yang terdapat dalam suatu zat atau makhluk hidup. Sehingga semua orang yang mempelajari ilmu sains akan tahu zat apa yang terkandung dalam tanah, air, api dan udara; atau unsur apa saja yang tersusun dalam tubuh manusia, sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk yang paling sempurna di antara makhluk yang lain.

Dengan sains, kemudian manusia akan dengan mudahnya mendeteksi berbagai jenis makhluk hidup yang ada di alam semesta ini atau benda-benda yang berada di sekitarnya sebagai penunjang kehidupannya. Tak hanya berhenti di situ, sains juga berfungsi sebagai sarana peningkatan kualitas hidup manusia di kemudian hari. Dengannya, manusia mampu menciptakan keajaiban-keajaiban yang belum pernah terungkap sebelum periode kehidupannya. Dan salah satu hasil penemuan yang berhasil diekstrak melalui sains – yang masih menjadi misteri – adalah nanoteknologi. Hal itu sekaligus menjadi bukti, bahwa kehidupan alam semesta ini tak sekecil yang orang kira pada umumnya.

Dan, ya, masih banyak lagi bidang keilmuan yang tersebar di seantero dunia ini, yang tak mungkin disebutkan satu per satu di sini.

Tentunya, semua penelitian yang digencarkan oleh para ilmuwan mendapatkan dukungan dari adanya suatu teknologi yang selalu termutakhir. Karena teknologi menjadi subjek pendukung utama penelitian yang tak dapat dipisahkan. Kendati demikian, bukan berarti dengan teknologi penelitian dapat berjalan sesuai dengan prediksi peneliti. Terkadang, teknologi memberikan konklusi di luar ekspektasi, atau ibarat kata berubah haluan. Sehingga peneliti harus menyusun ulang anggarannya sampai objek observasinya  terpecahkan dengan sempurna.

Semua itu sudah pasti ada harga yang harus dibayar. Artinya, segala macam tindakan dan perilaku manusia akan selalu diiringi oleh konsekuensi terhadap lingkungan dan orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Dan konsekuensi merupakan akibat dari suatu perbuatan. Oleh karena itu, manusia dengan kecerdasannya, di sisi lain, juga membawa dampak buruk terhadap penemuan terbesarnya dalam sejarah peradaban manusia. Revolusi industri, yang sekarang sudah mencapai level 4.0, telah mengubah banyak segmen kehidupan di bumi ini.

Tak terkecuali Indonesia, yang kini tengah mengejar ketertinggalan dalam bidang industrial dengan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki sumber daya manusia yang bermental baja – bukan bermental tempe lagi – yang siap bertarung dengan negara-negara maju di belahan dunia, harus mengorbankan banyak hal buah dari konsekuensi pendiriannya untuk bersaing di kancah dunia. Terutama orang-orang pinggiran yang terkena dampak pembangunan proyek industri tersebut.

Dan begitulah manusia. Tangan-tangan terampilnya yang dikendalikan oleh kecerdasan otaknya, akan selalu membawa perubahan setiap incinya terhadap kehidupan di bumi, sekalipun membawa risiko besar.

Satu-satunya Kepastian di Dunia Ini adalah Perubahan dan Perbedaan

Sumber: pixabay.com

Guys, pernah gak kamu menerima suatu tindakan, ucapan, sikap hingga pernyataan seseorang yang hampir selalu berulang-ulang dengan nada judgement? Misalnya yang sering terjadi, kamu sudah berubah sekarang, kamu yang sekarang berbeda dengan yang dulu, kamu berbeda dengan dia yang masih sama seperti dulu, dan lain sebagainya yang senada dengan itu.Lalu, apa respons kamu terhadap semua itu? Aku yakin, kalian pasti ‘tersentak’ ketika mendengar ungkapan seperti itu. Apalagi jika semua itu tertuju kepadamu.

Ketika mendengar kalimat-kalimat seperti itu untuk pertama kalinya, pasti benak kalian bertanya-tanya, apa yang berubah dariku? Atau, sepenggal kata, apa? Atau bahkan hanya terdiam dan memunculkan tanda tanya besar di seluruh tubuhmu. Selalu. Sebuah pertanyaan kritis yang timbul secara alamiah kepada diri sendiri terhadap subjek yang memantik terciptanya emosional diri. Tanpa dilatih. Dan tanpa harus berpikir dua kali untuk mencari jawaban atas ‘tuduhan’ tersebut. Atau yang bisa kita sebut sebagai rasa skeptis. Sebuah rasa yang sudah tertanam dalam setiap sel-sel saraf tubuh manusia sejak terlahir ke dunia.

Dalam ilmu psikologi, skeptis adalah suatu sikap kecenderungan untuk meragukan pendapat orang lain. Dan itu merupakan modal utama manusia untuk terhindar dari segala sesuatu yang berpotensi merusak dan merugikan. Baik bagi diri sendiri, orang lain maupun tatanan kehidupan. Skeptis juga berfungsi untuk memastikan kebenaran dari suatu berita yang diterima. Juga berfungsi untuk mencari jawaban dari rasa penasaran diri terhadap sesuatu. Seperti yang aku singgung di atas.

Dari sifat skeptis itu kemudian kita berusaha untuk mencari tahu jawabannya. Dan keputusan ada di tangan kita, apakah akan kita lontarkan pertanyaan apa dengan tanda tanya besar itu atau justru menyimpannya karena kita sudah tahu jawabannya secara tiba-tiba. Karena setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap suatu fenomena.

Ada satu hal menarik dari ungkapan itu. Manusia dengan segala keunikannya akan berbeda-beda dalam merespons ungkapan-ungkapan seperti itu. Ada yang apatis seolah itu bukan hal yang penting untuk dibicarakan. Ada yang tersentak seolah itu berita yang menggelegar bak petir. Ada yang penasaran seolah itu berita bagus untuk didengar. Ada yang tak menyangka karena begitu perhatiannya orang lain terhadap dirinya. Dan ada pula yang tersinggung, seolah ungkapan yang dimaksud bertujuan menyingkap sesuatu yang negatif dalam dirinya. Semua itu relatif, nisbi, yang sudah menjadi hukum alam sejak awal terbentuknya manusia.

Memang bukan hal yang aneh, ketika seseorang melihat sisi lain dari kehidupan kita. Apalagi jika dalam kurun waktu yang lama kita tak pernah bersua dengannya. Apa pun pasti akan diungkapkan kepada kita. Dan yang sering terjadi, ungkapan pertama yang akan didengar oleh telinga kita selain kabar adalah ungkapan seperti itu. Dan, ya, itu merupakan hal yang lumrah – bagiku, bagimu dan bagi orang lain.

Akan tetapi, bagiku, dan entah bagimu dan orang lain, menjadi aneh bila ungkapan itu diungkapkan untuk tujuan yang bersifat menghina atau ‘menjatuhkan.’ Menjatuhkan dalam arti yang sesungguhnya. Bukan kritik satire yang membangun bernada empati. Walaupun bagi sebagian orang, hal ini sering terjadi dan dirasakan langsung olehnya, namun lebih memilih untuk tak mempermasalahkannya. Namun, untuk alasan apa hal itu dilakukan?

Tentu, kebebasan berpendapat dan menyampaikannya langsung kepada orang yang bersangkutan merupakan siklus kepuasan hasrat manusia. Atau istilah Jawanya, yen ora ngomong ora bombong, kalau tak mengungkapkannya maka tak akan puas. Akan tetapi, yang sering terlupakan oleh manusia adalah etiket dalam menyampaikan pendapatnya dan cara untuk mengawalinya, sebutlah uneg-uneg. Dan mereka juga lupa, bahwa – menurut hematku – satu-satunya kepastian di dunia ini adalah perubahan dan perbedaan. Yang tak berubah adalah perubahan dan perbedaan itu sendiri. Itu adalah fakta (sunnatullah).

Dan yang terpenting dari itu semua sekaligus PR bagi kita adalah budaya menjaga perasaan orang lain – yang masih minim di negeri tercinta kita ini.

Salam damai Indonesiaku.