Hidup Masyarakat Tanpa Tuhan

Sumber gambar: iStock

“Benarkah masyarakat tanpa Tuhan mampu memiliki kehidupan yang lebih baik?” Pagi yang dingin itu, saat langit tengah menebarkan butiran-butiran salju yang lembut di atas permukaan tanah, aku bertanya kepada salah seorang penulis yang menekuni bidang spesialis sekularisme.

“Kenapa kau menanyakan hal itu kepadaku? Sedangkan keyakinan kita saja sudah jelas sangat berbeda.” Tatapannya yang tajam nan sinis membuatku sedikit terganggu. Namun aku terbiasa dengan situasi awal yang seperti itu saat berbincang dengan orang yang berbeda keyakinan denganku.

Aku terdiam sejenak. Memikirkan jawaban yang tepat, alih-alih mendapatkan jawaban yang aku inginkan darinya.

“Oh, aku hanya ...” belum sempat aku melanjutkan kalimatku, dia sudah terlebih dulu menyergapku dengan pernyataannya yang cukup membuatku tak berkutik sesaat.

“Percuma kau membahas topik yang krusial itu jika kau tak melepas cara pandang dan berpikirmu yang monoton. Lepaskan keyakinanmu. Dan mari kita ciptakan percakapan yang mendalam dan menarik.”

Aku tertawa ringan. Lalu mengangguk. Menatapnya dengan mantap. Tanda bahwa aku mengerti ucapannya.

Melepaskan keyakinan bukan berarti berpindah keyakinan. Bukan pula yang semula memiliki keyakinan kemudian dihapus keyakinan itu sehingga memilih keyakinan lain antara menjadi apatis, sekuler atau bahkan ateis. Melainkan sejenak aku masuk ke dalam koridor kehidupan orang yang sedang ingin aku kaji. Dan si saat yang sama, aku sekaligus menduduki posisinya di tengah kaumnya, lalu menjalankan perannya dalam kehidupannya sehari-hari.

“Baik.” Pungkasku, sembari membetulkan posisi syalku yang tersibak angin.

“Dari mana kau akan memulainya?”

Percakapan antara aku dan Robert mengalir bak air sungai di pegunungan, deras namun menghidupkan.

Aku mulai topik percakapan ini dengan menanyakan satu hal yang berkaitan tentang konsep kehidupan setelah kematian. Robert tak segan untuk menjawab pertanyaanku.

Menurut penelitiannya, kebanyakan orang di Swedia memeluk kepercayaan ateis. Mereka percaya bahwa di kehidupan ini tidak ada Tuhan, tidak ada sembahan atau sesuatu yang patut untuk dipuja-puji layaknya raja-raja pada masa sejarah silam. Mereka berkeyakinan bahwa kehidupan ini berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada yang mengatur. Tidak ada yang mengawali dan mengakhiri kecuali faktor alam.

“Maksudmu, bahwa alam semesta ini tidak ada yang menciptakannya?” Tegasku. Suasana yang serius nan mengalir ini membuat cuaca dingin menjadi terasa hangat dengan penjelasan Robert yang lugas.

Sesaat suasana menjadi hening. Robert menatapku tajam. Lalu dia membetulkan posisi duduknya menjadi lebih tegap.

[Bersambung...]

Manusia Hanya Mengejar Keuntungan dan Menjauhi Kerugian

Sumber: pixabay.com

Ketika kehidupan telah ‘menyuguhkan’ beragam fenomena kepada manusia, saat itulah kebesaran hati manusia diuji. Fenomena-fenomena yang dengan atau tanpa sepengetahuan dan persetujuan mereka, terjadi begitu saja sebagai suatu jalan takdir kehidupan. Takdir, yang artinya ketentuan yang pasti dan tak dapat dihindari. Dan manusia, dengan segala kesempurnaannya, melintasi garis waktu yang silih berganti sebagai penyandang predikat khalifah (baca: pemimpin). Itu saja, terkadang masih melupakan kodratnya sebagai makhluk pilihan di muka bumi ini.

Bahkan, pada kebanyakan kasus, manusia tak jarang mengedepankan hasrat egosentrismenya untuk mencapai dan menggapai segala impian-impiannya. Sehingga terjadilah kompetisi-kompetisi sengit antar sesama dengan menghalalkan berbagai cara. Mereka tertarik untuk mencicipi semua suguhan yang dihidangkan oleh kehidupan. Tak boleh ada yang terlewatkan, pikir mereka. Seakan suguhan itu hanya diperuntukkan kepada ‘mereka’ yang mereka pikir mereka bisa mendapatkannya secara cuma-cuma tanpa ada konsekuensi dan risiko yang harus dibayar di kemudian hari.

Padahal kedua hal itu, konsekuensi dan risiko, merupakan harga yang harus dibayar bagi setiap pelaku suatu tindakan. Kecil, muda, tua, dewasa, anak-anak, kaya maupun miskin. Tindakan yang baik maupun yang buruk. Semua memiliki ketentuan yang sama. Tak ada pengecualian. Sebab begitulah kehidupan ini bekerja. Selalu ada sebab dan akibat yang beriringan. Tetapi, sedikit sekali manusia yang menghiraukan hal-hal semacam itu. Yang ada dalam pikirannya hanyalah kata keakuan. Aku harus begini, aku harus begitu. Hal itu diperparah lagi dengan hasrat yang menginginkan semua orang harus mengikuti seluruh kemauannya.

Memang, tindakan seperti itu memiliki dua cara pandang yang berbeda, sebutlah sebuah refleksi dari relativitas suatu penilaian di mana ia ditempatkan. Ada kalanya tindakannya baik secara de jure, tetapi secara de facto memiliki dampak yang buruk. Ada pula kalanya suatu tindakan yang terlihat buruk, tetapi memiliki hasil akhir yang baik. Dan ada juga yang terlihat samar di awal dan akhirnya. Semua tak menentu dan tak bisa ditentukan secara pasti. Manusia hanya mengejar keuntungan dan menjauhi kerugian.

Naifnya, mereka tak memikirkan kerusakan-kerusakan tak kasat mata yang dihasilkan dari tindakan-tindakannya. Lisan yang ‘menyuarakan’ keadilan dan kesejahteraan, tangan yang ‘melindungi’ kekerasan dan kelaliman, kaki yang ‘tak kenal lelah’ bergerak mencari ‘mangsa,’ hingga otak yang ‘memikirkan jalan keluar’ dari masalah yang sedang dihadapi kelompoknya. Semua itu, ya, sebuah dalih yang terkandung dalam sebuah misi satu kata keakuan, yang mereka yakini mampu mendobrak gerbang petahana yang selama ini bungkam terhadap ‘kebenaran mereka.’

Akan tetapi mereka melupakan sesuatu. Bahwa harta, takhta, kehormatan, ketenaran, kelihaian bersilat lidah, nasab, semua itu tak ada artinya lagi jika mereka tak mampu meneladan sosok yang mereka agung-agungkan untuk meneladani orang-orang yang menuhankan mereka. Meneladan yang berarti mencontoh. Dan meneladani yang berarti memberi teladan.

Menjadi seorang teladan tak ubah selayaknya sebuah pelita. Dia akan memantulkan bayangan yang akan diikuti oleh para pemujanya ke mana pun dia melangkah. Sekalipun langkah yang diambil bertentangan dengan hati nurani. Pemuja tetaplah pemuja. Dan pelita selalu benar atas segala sabdanya.

Memang sebuah ironi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini. Tak sedikit dari mereka yang memahami mana yang menjual simbol-simbol keagamaan hanya untuk memuaskan hasrat dari ambisi mereka, dan mana yang benar-benar membela kebenaran sesungguhnya.

Seharusnya kita tahu bahwa misi yang mereka bawa merupakan sebuah refleksi relativitas. Begitu pula dengan panji kebenaran yang mereka usung. Tentu semua itu bersifat relatif. Tak ada kebenaran yang bersifat mutlak di dunia ini kecuali kebenaran milik Allah swt., Tuhan semesta alam. Begitu pula dengan tulisan ini, yang hanyalah sebuah refleksi dari kegelisahan diri terhadap fenomena-fenomena yang semakin marak. Sehingga istilah menuhankan seseorang yang memiliki ‘gelar suci’ tak lagi dijadikan sebagai tameng dalam membela kebenaran, apalagi membela diri.

Padahal, meskipun manusia memiliki beribu-ribu rencana untuk mendapatkan ambisinya dengan menghalalkan berbagai cara, tetapi keputusan akhir ada di tangan Tuhan. Ketika Dia berkata, ‘Cukup!’, maka semua akan berhenti saat itu juga. Tak ada yang bisa melawan. Tak ada yang bisa menolak. Tak ada pula yang bisa merencanakan kembali strategi baru. Semua ambisi bisa sirna dalam sekejap jika tak diimbangi dengan kontrol diri yang baik. Karena Tuhan tahu mana yang terbaik untuk seluruh umat manusia. Meskipun harus ada ‘mahar’ yang harus dibayar.

Bagaimana menurutmu?