Satu-satunya Kepastian di Dunia Ini adalah Perubahan dan Perbedaan – Roy Amr

Satu-satunya Kepastian di Dunia Ini adalah Perubahan dan Perbedaan

Sumber: pixabay.com

Guys, pernah gak kamu menerima suatu tindakan, ucapan, sikap hingga pernyataan seseorang yang hampir selalu berulang-ulang dengan nada judgement? Misalnya yang sering terjadi, kamu sudah berubah sekarang, kamu yang sekarang berbeda dengan yang dulu, kamu berbeda dengan dia yang masih sama seperti dulu, dan lain sebagainya yang senada dengan itu.Lalu, apa respons kamu terhadap semua itu? Aku yakin, kalian pasti ‘tersentak’ ketika mendengar ungkapan seperti itu. Apalagi jika semua itu tertuju kepadamu.

Ketika mendengar kalimat-kalimat seperti itu untuk pertama kalinya, pasti benak kalian bertanya-tanya, apa yang berubah dariku? Atau, sepenggal kata, apa? Atau bahkan hanya terdiam dan memunculkan tanda tanya besar di seluruh tubuhmu. Selalu. Sebuah pertanyaan kritis yang timbul secara alamiah kepada diri sendiri terhadap subjek yang memantik terciptanya emosional diri. Tanpa dilatih. Dan tanpa harus berpikir dua kali untuk mencari jawaban atas ‘tuduhan’ tersebut. Atau yang bisa kita sebut sebagai rasa skeptis. Sebuah rasa yang sudah tertanam dalam setiap sel-sel saraf tubuh manusia sejak terlahir ke dunia.

Dalam ilmu psikologi, skeptis adalah suatu sikap kecenderungan untuk meragukan pendapat orang lain. Dan itu merupakan modal utama manusia untuk terhindar dari segala sesuatu yang berpotensi merusak dan merugikan. Baik bagi diri sendiri, orang lain maupun tatanan kehidupan. Skeptis juga berfungsi untuk memastikan kebenaran dari suatu berita yang diterima. Juga berfungsi untuk mencari jawaban dari rasa penasaran diri terhadap sesuatu. Seperti yang aku singgung di atas.

Dari sifat skeptis itu kemudian kita berusaha untuk mencari tahu jawabannya. Dan keputusan ada di tangan kita, apakah akan kita lontarkan pertanyaan apa dengan tanda tanya besar itu atau justru menyimpannya karena kita sudah tahu jawabannya secara tiba-tiba. Karena setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap suatu fenomena.

Ada satu hal menarik dari ungkapan itu. Manusia dengan segala keunikannya akan berbeda-beda dalam merespons ungkapan-ungkapan seperti itu. Ada yang apatis seolah itu bukan hal yang penting untuk dibicarakan. Ada yang tersentak seolah itu berita yang menggelegar bak petir. Ada yang penasaran seolah itu berita bagus untuk didengar. Ada yang tak menyangka karena begitu perhatiannya orang lain terhadap dirinya. Dan ada pula yang tersinggung, seolah ungkapan yang dimaksud bertujuan menyingkap sesuatu yang negatif dalam dirinya. Semua itu relatif, nisbi, yang sudah menjadi hukum alam sejak awal terbentuknya manusia.

Memang bukan hal yang aneh, ketika seseorang melihat sisi lain dari kehidupan kita. Apalagi jika dalam kurun waktu yang lama kita tak pernah bersua dengannya. Apa pun pasti akan diungkapkan kepada kita. Dan yang sering terjadi, ungkapan pertama yang akan didengar oleh telinga kita selain kabar adalah ungkapan seperti itu. Dan, ya, itu merupakan hal yang lumrah – bagiku, bagimu dan bagi orang lain.

Akan tetapi, bagiku, dan entah bagimu dan orang lain, menjadi aneh bila ungkapan itu diungkapkan untuk tujuan yang bersifat menghina atau ‘menjatuhkan.’ Menjatuhkan dalam arti yang sesungguhnya. Bukan kritik satire yang membangun bernada empati. Walaupun bagi sebagian orang, hal ini sering terjadi dan dirasakan langsung olehnya, namun lebih memilih untuk tak mempermasalahkannya. Namun, untuk alasan apa hal itu dilakukan?

Tentu, kebebasan berpendapat dan menyampaikannya langsung kepada orang yang bersangkutan merupakan siklus kepuasan hasrat manusia. Atau istilah Jawanya, yen ora ngomong ora bombong, kalau tak mengungkapkannya maka tak akan puas. Akan tetapi, yang sering terlupakan oleh manusia adalah etiket dalam menyampaikan pendapatnya dan cara untuk mengawalinya, sebutlah uneg-uneg. Dan mereka juga lupa, bahwa – menurut hematku – satu-satunya kepastian di dunia ini adalah perubahan dan perbedaan. Yang tak berubah adalah perubahan dan perbedaan itu sendiri. Itu adalah fakta (sunnatullah).

Dan yang terpenting dari itu semua sekaligus PR bagi kita adalah budaya menjaga perasaan orang lain – yang masih minim di negeri tercinta kita ini.

Salam damai Indonesiaku.