Sebuah relaksasi yang berangkat dari perjalanan singkatku di Bumi Ibnu Khaldun, Tunisia.
Pernahkah kamu berangan-angan, atau paling tidak terbesit dalam benakmu, tentang waktu pelaksanaan shalat Jumat yang ‘tidak lazim’ di sekitar tempat tinggalmu? Shalat Jumat di akhir waktu dzuhur misalkan. Kira-kira apa yang kamu pikirkan? Dan apa yang akan terjadi dengan diri kamu – jika itu adalah hal yang sudah ada sejak lama namun baru terdengar telingamu? Heran? Kaget? Bertanya-tanya? Atau justru mengingkarinya?
Dua hari yang lalu, saat aku sedang mengaji kitab hadis karya Al-Bukhari – di kediaman guruku, beliau mengingatkanku tentang sebuah perjalanan singkat dua tahun silam. Saat aku tengah mendengarkan penjelasan guruku tentang sebuah hadis, guruku menanyaiku tentang jumlah waktu shalat Jumat di Tunisia. Karena di sana, waktu pelaksanaan shalat Jumat berbeda dengan waktu pelaksanaannya di berbagai wilayah negara Islam di dunia.
Jika pada umumnya shalat Jumat hanya dilaksanakan pada awal waktu shalat dzuhur dan hanya sekali dalam satu waktu tersebut, namun di Ibukota yang terkenal dengan sebutan seribu kafe justru berbeda pelaksanaannya. Di sana shalat Jumat dilaksanakan dalam waktu yang berbeda-beda. Jadi, setiap masjid yang mendirikan shalat Jumat menyesuaikan jadwal waktu pelaksanaan yang telah ditentukan di daerahnya masing-masing.
Ada masjid yang mendirikan shalat Jumat di awal waktu. Ada pula yang mendirikannya di akhir waktu. Dan ada pula yang mendirikannya di antara kedua waktu tersebut. Setiap masjid memiliki sebab dan alasan dalam penentuan waktu itu. Sebab dan alasannya pun sangat mendasar. Di antaranya, mereka memiliki rujukan yang kuat dalam beragama, seperti Imam Malik dalam bidang Fikih, Ibn ‘Asyur dalam bidang maqashid syari’ah dan Ibn Khaldun dalam bidang sosiologi.
Setiap orang yang mengetahui dan menyaksikan langsung fenomena tersebut untuk kali pertamanya pasti akan terpana – mungkin juga bingung, kok bisa? Apalagi bagi yang belum mengetahui dasar hukumnya, pasti akan bertanya-tanya dalam benaknya. Dan bagi orang yang fanatik hukum, atau paling mentok orang yang saklek dalam beragama dengan latar belakang apa pun, juga pasti akan mengingkari fenomena fikih ibadah tersebut. Namun inilah yang terjadi, bahwa Islam memiliki keberagaman beragama; bermuamalah yang tidak hanya dengan manusia tetapi juga dengan Tuhannya.
Sebagaimana yang kita tahu, di dalam agama Islam shalat merupakan salah satu rukun Islam yang harus dipenuhi oleh setiap pemeluknya yang laki-laki. Tak terkecuali shalat Jumat. Selain karena shalat sebagai tiang agama, namun juga karena shalat Jumat sebagai simbol persatuan umat muslim sedunia. Di tengah-tengah kesibukannya, umat muslim harus bisa menyempatkan waktunya untuk menunaikan shalat Jumat tepat pada waktunya. Karena jika seorang muslim sengaja meninggalkannya sebanyak sekali, dua kali, tiga kali, atau lebih, maka dia akan mendapatkan konsekuensinya menurut syariat Islam.
Nah, di sinilah letak keunikan yang ada di Tunis. Untuk menjaga kemaslahatan umat muslim dan agamanya, Tunis melakukan gebrakan dalam ranah ijtihad hukum fikih. Seperti yang sudah menjadi rahasia umum dalam Islam, saat urusan agama dan dunia disandingkan, maka akan dihasilkan ‘produk baru’ – jika boleh dikatakan demikian – dalam menjaga maslahat kehidupan, terutama manusia dan agama, dari berbagai aspek.
Dalam hal ini Tunis telah melahirkan seorang tokoh spektakuler yang memprakarsai munculnya bidang ilmu maqaashid al-syari’ah yang sangat fenomenal. Tunis, dengan corak keislaman yang kebarat-baratan, menuntut para tokohnya untuk mencari jalan tengah dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Sehingga dengan maqashid, Tunis telah menjaga umat muslim tetap menunaikan shalat Jumat meski berbeda-beda waktunya.
Jadi, saat aku berada di sana, aku mencoba untuk mencari tahu alasan mengapa di Tunis melakukan shalat Jumat terbagi menjadi tiga waktu. Setelah aku melakukan ‘peninjauan’ lapangan dengan shalat langsung di masjid-masjid yang menerapkan salah satu dari tiga waktu tersebut, aku menemukan beberapa alasan.
Pertama, pemahaman konteks narasi agama yang berbeda. Kedua, pemahaman maqashid syari’ah yang sangat mendalam. Ketiga, kondisi sosial atau masyarakat muslim yang beragam. Dan – mungkin – keempat, kondisi tata letak kota dan bangunan masjid yang masih terbatas. Serta – kata beberapa warga asli sana – pengaruh budaya barat yang secara de facto masih menjajah negara mereka.
Dari fenomena seperti itu, aku banyak termenung dan kemudian memikirkan proses sampainya ajaran-ajaran Islam dari masa risalah kenabian hingga dewasa ini. Berabad-abad lamanya Islam telah berjaya dan akan selamanya terus kokoh berdiri. Tentu Islam dan umatnya telah melewati berbagai macam proses tempa yang begitu panjang nan rumit. Hingga pada setiap masanya, Islam selalu melahirkan tokoh-tokoh yang selalu menjaga kestabilan dunia dan agama serta akhirat.
Lantas, dengan berbagai alasan atau sebab itu, ternyata benar bahwa semakin luas penglihatan dan pandangan seseorang, maka akan sedikit pengingkarannya terhadap segala sesuatu. Sehingga patut dan pantas – atau sepatutnya dan sepantasnya – bagi orang yang telah memiliki penglihatan dan pandangan yang luas hasil dari perjalanannya yang tidak pendek dan singkat untuk bersikap bersahaja, adil, tidak banyak ingkar, bijak dan luas pandang. Hal itu senada dengan yang dikatakan oleh salah satu ulama Tunis, من اتسع علمه، قل إنكاره, artinya orang yang luas ilmunya maka sedikit ingkarnya. Atau seperti yang dikatakan dan dipraktikkan oleh guru saya, من اتسع نظره، قل إنكاره, artinya orang yang luas pandangan atau pengalamannya maka sedikit keingkarannya.