“Benarkah masyarakat tanpa Tuhan mampu memiliki kehidupan yang lebih baik?” Pagi yang dingin itu, saat langit tengah menebarkan butiran-butiran salju yang lembut di atas permukaan tanah, aku bertanya kepada salah seorang penulis yang menekuni bidang spesialis sekularisme.
“Kenapa kau menanyakan hal itu kepadaku? Sedangkan keyakinan kita saja sudah jelas sangat berbeda.” Tatapannya yang tajam nan sinis membuatku sedikit terganggu. Namun aku terbiasa dengan situasi awal yang seperti itu saat berbincang dengan orang yang berbeda keyakinan denganku.
Aku terdiam sejenak. Memikirkan jawaban yang tepat, alih-alih mendapatkan jawaban yang aku inginkan darinya.
“Oh, aku hanya …” belum sempat aku melanjutkan kalimatku, dia sudah terlebih dulu menyergapku dengan pernyataannya yang cukup membuatku tak berkutik sesaat.
“Percuma kau membahas topik yang krusial itu jika kau tak melepas cara pandang dan berpikirmu yang monoton. Lepaskan keyakinanmu. Dan mari kita ciptakan percakapan yang mendalam dan menarik.”
Aku tertawa ringan. Lalu mengangguk. Menatapnya dengan mantap. Tanda bahwa aku mengerti ucapannya.
Melepaskan keyakinan bukan berarti berpindah keyakinan. Bukan pula yang semula memiliki keyakinan kemudian dihapus keyakinan itu sehingga memilih keyakinan lain antara menjadi apatis, sekuler atau bahkan ateis. Melainkan sejenak aku masuk ke dalam koridor kehidupan orang yang sedang ingin aku kaji. Dan si saat yang sama, aku sekaligus menduduki posisinya di tengah kaumnya, lalu menjalankan perannya dalam kehidupannya sehari-hari.
“Baik.” Pungkasku, sembari membetulkan posisi syalku yang tersibak angin.
“Dari mana kau akan memulainya?”
Percakapan antara aku dan Robert mengalir bak air sungai di pegunungan, deras namun menghidupkan.
Aku mulai topik percakapan ini dengan menanyakan satu hal yang berkaitan tentang konsep kehidupan setelah kematian. Robert tak segan untuk menjawab pertanyaanku.
Menurut penelitiannya, kebanyakan orang di Swedia memeluk kepercayaan ateis. Mereka percaya bahwa di kehidupan ini tidak ada Tuhan, tidak ada sembahan atau sesuatu yang patut untuk dipuja-puji layaknya raja-raja pada masa sejarah silam. Mereka berkeyakinan bahwa kehidupan ini berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada yang mengatur. Tidak ada yang mengawali dan mengakhiri kecuali faktor alam.
“Maksudmu, bahwa alam semesta ini tidak ada yang menciptakannya?” Tegasku. Suasana yang serius nan mengalir ini membuat cuaca dingin menjadi terasa hangat dengan penjelasan Robert yang lugas.
Sesaat suasana menjadi hening. Robert menatapku tajam. Lalu dia membetulkan posisi duduknya menjadi lebih tegap.
[Bersambung…]