Hai! Apa kabar? Kita bertemu lagi di sini.
Yang pertama kali ingin aku sampaikan adalah janganlah berharap bahwa tulisanku akan enak dibaca, nikmat dihayati atau bahkan seindah tulisan penulis handal. Dan satu lagi, tulisanku bukan melodi yang mampu membuat pembacanya terbawa dan terhipnotis oleh setiap ketukan kata dan lantunan iramanya. Sebab aku hanya manusia biasa yang sekadar ingin berbagi apa yang aku lihat melalui hobiku, menulis. Jadi, turunkanlah ekspektasimu terhadap tulisanku, ya.
Selamat membaca!
Cerita ini, berawal ketika aku bersahabat dengan orang yang saat ini bekerja di salah satu proyek besar pemerintah yang terletak di luar Jawa. Dia biasa dipanggil Mazda Syah. Persahabatanku dengannya bermula dari sahabat karibku, Muazfi, yang memperkenalkannya kepadaku pada saat Mazda tengah kembali ke Indonesia dari perjalanan jauhnya ke Turki. Saat itu kami bertiga, saat pertama kali aku kenal denganya, bertemu di salah satu kawasan Jakarta yang terdapat banyak kuliner gultik-nya.
Pertemuan kami yang diwarnai dengan obrolan yang ngalor-ngidul sebetulnya tak ada yang istimewa. Hanya saja, aku merasa bersyukur dipertemukan dengan dua orang yang menurutku memiliki banyak keistimewaan. Akan tetapi, saat ini aku bukan ingin bercerita tentang Muazfi dan Mazda, atau tentang kepribadian mereka. Bukan pula tentang perjalanan hidup mereka. Melainkan tentang prinsip yang dipegang oleh mereka, termasuk aku – kami bertiga, yang memiliki kesamaan.
Ambekan sek, Cah!
Kalian pernah ditempatkan pada posisi yang mengkhawatirkan? Kalian juga pernah dihadapkan pada kondisi dan keadaan yang menakutkan? Atau, kalian pernah diuji kebingungan menentukan satu-dua hal yang dilematik?
Ah, pastilah kalian pernah. Karena kalian juga sama seperti kami – sebagai manusia, bukan?
Rasa khawatir, takut dan bingung bukanlah suatu emosional yang nyaman untuk dirasakan oleh manusia. Semua rasa itu tentu sangatlah mengganggu ketenangan dan ketentraman hati. Dan itu memerlukan waktu untuk bisa pulih kembali, atau agar ‘jinak’ setelah ditaklukkan. Kata dr. A. Dinda, ibarat sebagian tubuh kalian terbentur tembok lalu tubuh itu merasakan rasa sakit atau nyeri, dan itu disebut sebagai trauma, maka untuk sembuh dari rasa sakit itu kalian memerlukan proses dan waktu yang tidak sedikit.
Meskipun, ya, semua itu bagian dari kenormalan dalam diri manusia, akan tetapi tak sedikit yang tenggelam dalam persoalan itu hingga hampir membuatnya kehilangan arah. Leres mboten, Lur?
Loh, leres? Mreneo ndang moconen tulisanku iki nganti tuntas, tak wenehi wejangan apik sing insya Allah manjur kanggo awakmu sak lawase! Percoyonen!
Kebanyakan orang, yang sadar akan nilai aset dan manajemen risiko, seringkali menyisihkan sebagian hartanya untuk dialihkan ke dalam asuransi. Entah asuransi yang berbasis swasta atau pun asuransi yang disediakan oleh pemerintah. Begitu banyak jenis-jenis asuransi yang tersedia di negeri tercinta ini, Indonesia. Mulai dari asuransi jiwa, kesehatan, pendidikan, kematian hingga properti dan sebagainya.
Dan menurut data statistik AAJI, salah satu industri asuransi jiwa, masyarakat Indonesia mengalami peningkatan kesadaran secara konsisten akan klaim asuransi pada tahun 2023 sebanyak 16,5%, dengan lonjakan klaim asuransi kesehatan sebanyak 32,9% dibanding klaim asuransi kematian.
Coba kalian bayangkan, betapa mahalnya kesehatan manusia sekarang. Jaminan yang disebut asuransi itu tentu bagian dari bisnis esensial berbayar. Dan untuk bisa menikmati klaim asuransinya saat dibutuhkan, tidak sedikit uang yang harus dibayarkan. Tentu setiap perusahaan penyedia layanan asuransi memiliki ketentuan yang berbeda-beda terkait besaran atau kisaran biaya yang dibebankan kepada per orangan setiap bulannya atau periode tertentu.
Memang gak ono asuransi sing gak berbayar?
Pasti ada yang bertanya seperti itu. Ya, ‘kan?
Maksudmu opo, Cah!? Yo gak ono asuransi sing gak berbayar! Kecuali asuransi yang ditanggung oleh perusahaan tempatmu bekerja. Dari sana beberapa jenis asuransi diberikan dan ditanggung biayanya oleh perusahaan. Meskipun kita tidak mengeluarkan uang untuk membayar asuransi, tetapi perusahaan yang bekerja sama dengan penyedia asuransi yang akan merembes kebutuhan asuransi pekerjanya. Istilah bahasa lapangannya disebut rembes.
Ngunu.. paham yo?! (POV: tangan kiri menahan sandal agar tidak mendarat di kepalanya).
Mazda, yang sejak beberapa hari lalu sedang singgah sementara di Jakarta untuk keperluan pekerjaannya, mengajak kami berdua untuk bertemu di kampusnya semasa sarjana (strata satu). Sembari berkeliling meliat-lihat seisi kampusnya, dia bercerita banyak hal kepadaku dan Muazfi.
Mulai dari tentang kondisi kampus dulu dan sekarang, perjalanan asmaranya yang kandas di tengah jalan, keponakannya yang tengah mengikuti perlombaan bisnis di kampus perusahaan BUMN, rencana untuk melakukan perjalanan bareng, asuransi kesehatan, pekerjaan, hingga pertemuan dirinya dengan orang baru – yang kata-katanya akan jadi calon pendamping hidupnya dan kami berdua mendukungnya untuk bismillah until akad.
Pandongane yo, Lur! (PT: BTW, kami bertiga sama-sama single man yang sedang memperjuangkan cincin indah nan berkilau untuk jari manis pujaan hati. :’D)
Dan ketika kami hanyut dalam banyak obrolan dan perencanaan, ternyata semua yang kami obrolkan terpusat pada satu hal, yaitu ketika kami sampai pada satu obrolan tentang asuransi. Memang ada kaitannya?Ada.
Konsep kehidupan ini selalu ada risiko atau konsekuensi. Untuk mengurangi risiko itu, manusia harus mencari perlindungan untuk keamanan semua aset yang dia miliki. Yang saat ini disebut dengan istilah asuransi.
Ketika kamu membicarakan tentang asuransi, maka kamu membicarakan tentang jaminan. Dan ketika kamu membicarakan tentang jaminan, maka kamu akan membicarakan tentang segala hal yang berkaitan dengan jaminan. Setidaknya ada tiga hal besar yang pasti saling berkaitan; penanggung atau penyedia asuransi, tertanggung atau pengguna asuransi dan premi atau harga/materi berupa satuan nilai.
Hal terkecil sebagai permisalan ketika berbicara tentang jaminan secara langsung adalah saat kita ingin sehat, maka kita harus menjaga pola hidup yang sehat, salah satunya dengan makan makanan yang menyehatkan. Saat kita ingin mendapatkan makanan, minuman atau barang yang kita inginkan, maka kita harus membelinya dengan menyerahkan sejumlah uang terbilang. Saat kita ingin sembuh dari sakit, maka kita harus pergi ke rumah sakit – kalau kata Pak Anies mah rumah sehat – untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan sampai sembuh.
Dan semua itu dibutuhkan harga atau materi yang harus dibayarkan sebagai biaya pengalihan agar bisa memenuhi semua kebutuhan kita. Sederhananya, setiap ada aksi pasti ada konsekuensi, setiap ada sebab pasti ada akibat dan setiap ada permintaan pasti ada jaminan.
Lantas, apakah kemudian jiwa, kesehatan, dan semua aset kehidupan kita akan benar-benar terjamin keamanan dan keselamatannya setelah kita memproteksikannya kepada perusahaan penyedia asuransi? Sedangkan kita sama-sama tahu, bahwa sistem yang dibuat oleh manusia tak selamanya dan tak semuanya aman dan terpercaya.
Seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan, banyak perusahaan penyedia asuransi yang telah menyalahgunakan dana yang mereka terima dari para pengguna asuransi. Nilainya pun sangat fantastis hingga mencapai puluhan bahkan ratusan milyar.
Bayangkan, betapa banyak orang yang sudah menaruh harapan akan keamanan dan keselamatan aset-aset kehidupan berharga yang mereka miliki, namun harapan itu harus kandas. Atau, meskipun terdapat sedikit harapan, mereka harus luntang-lantung menunggu kepastian terselesaikannya persoalan yang terjadi. Dan tentu, itu memakan waktu yang cukup lama.
Pada akhirnya, betapa pun kita mencari asuransi atau jaminan kelayakan hidup di atas muka bumi ini, entah dengan dalih menjaga keamanan dan keutuhan aset kehidupan yang kita miliki, dan betapa pun kita memercayai perusahaan penyedia asuransi, semua tetap ada risikonya.
Di akhir obrolan kami bertiga, Muazfi memberikan sebuah kalimat yang dia jadikan sebagai prinsipnya semasa hidupnya. Aku dan Mazda yang mendengarnya langsung mengangguk mengiyakan, setuju! Sebab selama ini, kami berdua juga melakukannya, hanya saja tidak terbungkus oleh kata yang sama seperti Muazfi, kata asuransi.
“Percaya, kan? Jadi, tetap asuransi Allah-lah yang paling terpercaya dan terjamin.”
Dan memang benar adanya. Ketika kita sudah melakukan yang terbaik, kemudian kita memiliki segalanya – meskipun itu semua hanyalah titipan, hanya Allah-lah sebaik-baiknya penyedia sekaligus pemberi asuransi untuk segala aset berharga kehidupan.
Dengan cara apa? Kita bahas di lain waktu, ya. Insya Allah. Panteng terus, Lur, blog-ku!