Manusia dan Kecerdasannya Terhadap Revolusi Industri

Sumber: pixabay.com

Membahas manusia selalu menjadi topik yang menarik. Berinteraksi dengannya sering kali mengundang tantangan-tantangan baru. Mengamatinya pun menjadi suatu pekerjaan yang penuh kemisteriusan. Meskipun tak dapat dipungkiri, bahwa semua yang berkaitan dengan manusia selalu menjadi pusat perhatian para ilmuwan. Segala bentuk perubahan dari yang kasat mata hingga yang tak kasat mata, tak luput dari fokus mereka. Sekalipun itu berlawanan dengan norma-norma kemanusiaan. Semua itu dilakukan hanya untuk menemukan kemajuan kehidupan dengan memecahkan misteri-misteri yang masih belum terungkap.

Ketika membicarakan ihwal manusia, seakan bahan itu tak pernah habis dilahap. Manusia memang selalu berubah-ubah dari masa ke masa. Mereka berkembang dan maju dalam segala aspek kehidupan. Melakukan berbagai perubahan untuk memakmurkan kehidupan di bumi. Tangan-tangannya yang terampil menghasilkan karya-karya yang fenomenal. Kecerdasannya yang tak terbatas pada satu titik mampu menemukan inovasi-inovasi terbaru untuk menunjang kehidupan umat di bumi. Mulai dari penemuan terbaru hingga pembaharuan-pembaharuannya oleh tangan para ilmuwan ahli. Semua itu berangkat dari skeptisisme mereka terhadap hal-hal baru yang belum diketahui oleh mereka.

Mereka lalu menggencarkan penelitian-penelitian dari masa ke masa. Dalam bidang sosiologi misalkan, banyak para ilmuwan meneliti perkembangan manusia beserta kemajuannya dalam menjalankan titahnya sebagai makhluk sosial. Mereka meneliti perubahan perilaku manusia dalam berinteraksi satu sama lain, baik dalam skala mikro seperti individu atau keluarga; skala meso seperti kelompok, komunitas atau masyarakat; maupun skala makro seperti negara atau komunitas dunia. Sehingga mereka mampu menghasilkan suatu kesimpulan yang dihasilkan dari perubahan perilaku manusia dari masa ke masa di suatu wilayah.

Kesimpulan inilah yang nantinya mampu menjawab tantangan demi tantangan dalam menghadapi perkembangan dan kemajuan revolusi industri. Karena pelaku terciptanya revolusi industri ialah manusia itu sendiri, pemilik tangan-tangan terampil dengan otak yang brilian. Maka wajar bila revolusi industri yang merupakan sebuah perkembangan teknologi yang terjadi antara tahun 1750 – 1850 akan mengubah segala bentuk kegiatan di dalam bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi hingga teknologi. Penemuan inilah yang merupakan cikal bakal terjadinya revolusi besar-besaran dalam sejarah peradaban manusia.

Atau, dalam bidang lain seperti sains, tak sedikit para saintis yang mencurahkan seluruh waktu dan pikirannya untuk meneliti kandungan-kandungan yang terdapat dalam suatu zat atau makhluk hidup. Sehingga semua orang yang mempelajari ilmu sains akan tahu zat apa yang terkandung dalam tanah, air, api dan udara; atau unsur apa saja yang tersusun dalam tubuh manusia, sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk yang paling sempurna di antara makhluk yang lain.

Dengan sains, kemudian manusia akan dengan mudahnya mendeteksi berbagai jenis makhluk hidup yang ada di alam semesta ini atau benda-benda yang berada di sekitarnya sebagai penunjang kehidupannya. Tak hanya berhenti di situ, sains juga berfungsi sebagai sarana peningkatan kualitas hidup manusia di kemudian hari. Dengannya, manusia mampu menciptakan keajaiban-keajaiban yang belum pernah terungkap sebelum periode kehidupannya. Dan salah satu hasil penemuan yang berhasil diekstrak melalui sains – yang masih menjadi misteri – adalah nanoteknologi. Hal itu sekaligus menjadi bukti, bahwa kehidupan alam semesta ini tak sekecil yang orang kira pada umumnya.

Dan, ya, masih banyak lagi bidang keilmuan yang tersebar di seantero dunia ini, yang tak mungkin disebutkan satu per satu di sini.

Tentunya, semua penelitian yang digencarkan oleh para ilmuwan mendapatkan dukungan dari adanya suatu teknologi yang selalu termutakhir. Karena teknologi menjadi subjek pendukung utama penelitian yang tak dapat dipisahkan. Kendati demikian, bukan berarti dengan teknologi penelitian dapat berjalan sesuai dengan prediksi peneliti. Terkadang, teknologi memberikan konklusi di luar ekspektasi, atau ibarat kata berubah haluan. Sehingga peneliti harus menyusun ulang anggarannya sampai objek observasinya  terpecahkan dengan sempurna.

Semua itu sudah pasti ada harga yang harus dibayar. Artinya, segala macam tindakan dan perilaku manusia akan selalu diiringi oleh konsekuensi terhadap lingkungan dan orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Dan konsekuensi merupakan akibat dari suatu perbuatan. Oleh karena itu, manusia dengan kecerdasannya, di sisi lain, juga membawa dampak buruk terhadap penemuan terbesarnya dalam sejarah peradaban manusia. Revolusi industri, yang sekarang sudah mencapai level 4.0, telah mengubah banyak segmen kehidupan di bumi ini.

Tak terkecuali Indonesia, yang kini tengah mengejar ketertinggalan dalam bidang industrial dengan membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki sumber daya manusia yang bermental baja – bukan bermental tempe lagi – yang siap bertarung dengan negara-negara maju di belahan dunia, harus mengorbankan banyak hal buah dari konsekuensi pendiriannya untuk bersaing di kancah dunia. Terutama orang-orang pinggiran yang terkena dampak pembangunan proyek industri tersebut.

Dan begitulah manusia. Tangan-tangan terampilnya yang dikendalikan oleh kecerdasan otaknya, akan selalu membawa perubahan setiap incinya terhadap kehidupan di bumi, sekalipun membawa risiko besar.

Manusia Hanya Mengejar Keuntungan dan Menjauhi Kerugian

Sumber: pixabay.com

Ketika kehidupan telah ‘menyuguhkan’ beragam fenomena kepada manusia, saat itulah kebesaran hati manusia diuji. Fenomena-fenomena yang dengan atau tanpa sepengetahuan dan persetujuan mereka, terjadi begitu saja sebagai suatu jalan takdir kehidupan. Takdir, yang artinya ketentuan yang pasti dan tak dapat dihindari. Dan manusia, dengan segala kesempurnaannya, melintasi garis waktu yang silih berganti sebagai penyandang predikat khalifah (baca: pemimpin). Itu saja, terkadang masih melupakan kodratnya sebagai makhluk pilihan di muka bumi ini.

Bahkan, pada kebanyakan kasus, manusia tak jarang mengedepankan hasrat egosentrismenya untuk mencapai dan menggapai segala impian-impiannya. Sehingga terjadilah kompetisi-kompetisi sengit antar sesama dengan menghalalkan berbagai cara. Mereka tertarik untuk mencicipi semua suguhan yang dihidangkan oleh kehidupan. Tak boleh ada yang terlewatkan, pikir mereka. Seakan suguhan itu hanya diperuntukkan kepada ‘mereka’ yang mereka pikir mereka bisa mendapatkannya secara cuma-cuma tanpa ada konsekuensi dan risiko yang harus dibayar di kemudian hari.

Padahal kedua hal itu, konsekuensi dan risiko, merupakan harga yang harus dibayar bagi setiap pelaku suatu tindakan. Kecil, muda, tua, dewasa, anak-anak, kaya maupun miskin. Tindakan yang baik maupun yang buruk. Semua memiliki ketentuan yang sama. Tak ada pengecualian. Sebab begitulah kehidupan ini bekerja. Selalu ada sebab dan akibat yang beriringan. Tetapi, sedikit sekali manusia yang menghiraukan hal-hal semacam itu. Yang ada dalam pikirannya hanyalah kata keakuan. Aku harus begini, aku harus begitu. Hal itu diperparah lagi dengan hasrat yang menginginkan semua orang harus mengikuti seluruh kemauannya.

Memang, tindakan seperti itu memiliki dua cara pandang yang berbeda, sebutlah sebuah refleksi dari relativitas suatu penilaian di mana ia ditempatkan. Ada kalanya tindakannya baik secara de jure, tetapi secara de facto memiliki dampak yang buruk. Ada pula kalanya suatu tindakan yang terlihat buruk, tetapi memiliki hasil akhir yang baik. Dan ada juga yang terlihat samar di awal dan akhirnya. Semua tak menentu dan tak bisa ditentukan secara pasti. Manusia hanya mengejar keuntungan dan menjauhi kerugian.

Naifnya, mereka tak memikirkan kerusakan-kerusakan tak kasat mata yang dihasilkan dari tindakan-tindakannya. Lisan yang ‘menyuarakan’ keadilan dan kesejahteraan, tangan yang ‘melindungi’ kekerasan dan kelaliman, kaki yang ‘tak kenal lelah’ bergerak mencari ‘mangsa,’ hingga otak yang ‘memikirkan jalan keluar’ dari masalah yang sedang dihadapi kelompoknya. Semua itu, ya, sebuah dalih yang terkandung dalam sebuah misi satu kata keakuan, yang mereka yakini mampu mendobrak gerbang petahana yang selama ini bungkam terhadap ‘kebenaran mereka.’

Akan tetapi mereka melupakan sesuatu. Bahwa harta, takhta, kehormatan, ketenaran, kelihaian bersilat lidah, nasab, semua itu tak ada artinya lagi jika mereka tak mampu meneladan sosok yang mereka agung-agungkan untuk meneladani orang-orang yang menuhankan mereka. Meneladan yang berarti mencontoh. Dan meneladani yang berarti memberi teladan.

Menjadi seorang teladan tak ubah selayaknya sebuah pelita. Dia akan memantulkan bayangan yang akan diikuti oleh para pemujanya ke mana pun dia melangkah. Sekalipun langkah yang diambil bertentangan dengan hati nurani. Pemuja tetaplah pemuja. Dan pelita selalu benar atas segala sabdanya.

Memang sebuah ironi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini. Tak sedikit dari mereka yang memahami mana yang menjual simbol-simbol keagamaan hanya untuk memuaskan hasrat dari ambisi mereka, dan mana yang benar-benar membela kebenaran sesungguhnya.

Seharusnya kita tahu bahwa misi yang mereka bawa merupakan sebuah refleksi relativitas. Begitu pula dengan panji kebenaran yang mereka usung. Tentu semua itu bersifat relatif. Tak ada kebenaran yang bersifat mutlak di dunia ini kecuali kebenaran milik Allah swt., Tuhan semesta alam. Begitu pula dengan tulisan ini, yang hanyalah sebuah refleksi dari kegelisahan diri terhadap fenomena-fenomena yang semakin marak. Sehingga istilah menuhankan seseorang yang memiliki ‘gelar suci’ tak lagi dijadikan sebagai tameng dalam membela kebenaran, apalagi membela diri.

Padahal, meskipun manusia memiliki beribu-ribu rencana untuk mendapatkan ambisinya dengan menghalalkan berbagai cara, tetapi keputusan akhir ada di tangan Tuhan. Ketika Dia berkata, ‘Cukup!’, maka semua akan berhenti saat itu juga. Tak ada yang bisa melawan. Tak ada yang bisa menolak. Tak ada pula yang bisa merencanakan kembali strategi baru. Semua ambisi bisa sirna dalam sekejap jika tak diimbangi dengan kontrol diri yang baik. Karena Tuhan tahu mana yang terbaik untuk seluruh umat manusia. Meskipun harus ada ‘mahar’ yang harus dibayar.

Bagaimana menurutmu?