Perjalanannya Mengenal Tuhan

Malam tadi adalah malam dengan tema obrolan yang berat. Tepat setelah aku selesai shalat magrib dan berzikir, aku sempatkan untuk membaca buku yang aku pinjam dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang berjudul Society without God. Tak selang berapa lama kemudian, datang Mas S, sebut saja begitu, menyapaku, “Bagaimana kabarnya, Mas? Sehat?” Kebiasaan lamanya yang ramah, selalu membuat banyak orang terkesima dengannya. Bahkan, dia yang tujuh tahun lebih tua dariku tetap memanggilku dengan sapaan Mas. Padahal sudah kubilang berkali-kali, panggil aku dengan sebutan nama saja.

Aku jawab seadanya, sesuai dengan keadaanku bahwa aku dalam keadaan sehat.

Lantas dia merendahkan suaranya, sedikit melirik ke dalam, memastikan apakah ada orang lain atau tidak. “Sebenarnya saya itu sedang belajar mengenal Tuhan, Mas.”

Di telingaku, pernyataan itu tidak membuatku terheran-heran. Atau, terkejut – jika bagi sebagian orang itu adalah sesuatu yang aneh dalam keluarga yang Islam. Karena pada umumnya, rasa penasaran atau keraguan terhadap agama atau Tuhan itu sendiri sering terjadi bagi orang-orang non-muslim. Dan aku tidak merasa heran terhadap pernyataannya, karena aku tahu bagaimana karakter dia yang terbentuk oleh lingkungan sekitar.

Aku tidak menyebut bahwa lingkungan yang aku maksud adalah keluarga. Akan tetapi lingkungan yang dia jajaki selama dia dalam masa pertumbuhan dan pendewasaan. Dan dari sana dia melihat banyak fenomena-fenomena yang memengaruhi cara atau pola berpikirnya. Memengaruhi di sini – sejauh yang aku lihat – bukan pengaruh yang buruk. Akan tetapi pengaruh yang membuat pola berpikirnya kritis – atau paling tidak berbeda dari yang lain.

“Kenapa begitu, Mas?” Tanyaku untuk mencari alasan dia mengatakan seperti itu.

Aku masih menunggunya menjawab.

“Sebenarnya lebih baik shalat dipaksa atau shalat dengan kemauan sendiri menurutmu?”

Aku jawab dengan apa adanya dan penuh keyakinan, “Dua-duanya, Mas.”

“Kenapa begitu?” Sanggahnya dengan penuh rasa penasaran.

Menjawab persoalan semacam itu bukanlah hal yang mudah. Juga bukan hal yang bisa kita dapatkan jawabannya semata-mata melalui bacaan-bacaan yang pernah kita baca. Atau, teori-teori yang pernah kita dengar dari orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam suatu kelompok. Karena bacaan atau teori yang pernah kita baca dan dengar tentu hanyalah dasar atau permulaan dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer seperti sekarang ini. Semua itu membutuhkan penalaran yang kritis, telaah yang mendalam, hingga penjabaran dari suatu penjelasan sebagai jawaban.

Artinya, selebihnya dari itu, tergantung pada orang yang menjawab atas persoalan-persoalan yang dia hadapi. Apakah dia bisa membuat dan mengembangkan pengetahuannya menemukan jawaban atas rasa penasarannya seseorang terhadap agama dan membuatnya merasa terbantu.

Lalu aku berikan analogi sebagai jawaban atas kegelisahannya. “Ibarat kebutuhan manusia dalam sehari-hari, Mas. Semakin dewasa seseorang, maka kebutuhannya semakin meningkat. Mau tidak mau dia harus memenuhi kebutuhan itu dengan dirinya sendiri. Memang semua terasa berat di awal. Dan seakan-akan dalam melakukan itu dia merasa terpaksa atau harus dipaksa, atau bahkan merasa tidak mampu karena merasa dipaksa atau terpaksa. Akan tetapi, karena itu merupakan kebutuhan dirinya, dia harus melakukannya dan menjalaninya seakan itu menjadi bagian yang tidak bisa luput dari dalam hidupnya. Dan lambat laun pasti akan terbiasa. Seperti Mas yang sekarang sudah bekerja menetap di PDAM. Pasti awalnya terasa berat, tapi makin hari rasa berat itu hilang menjadi sesuatu yang wajar untuk di jalani dalam kehidupan sehari-hari. Bukan begitu, Mas?”

Dia terdiam. Sedikit mengangguk-angguk. Tetapi semburat matanya memperlihatkan ketidakpuasannya karena gejolak dalam hatinya, sehingga dia terus ingin bertanya lagi dan lagi.

“Terus apa gunanya shalat kalau setelah selesai shalat melakukan keburukan atau maksiat? Seperti menggunjing, memfitnah, mabuk-mabukan, bahkan ada yang sampai melakukan hal-hal terlarang lainnya yang lebih keji dari itu.” Kritisnya menanggapi penjelasan sederhanaku.

Aku membetulkan posisi dudukku. Berusaha mencerna kalimatnya sekaligus mencari jawaban yang tepat dan terbaik – versiku.

“Begini, Mas.” Aku menarik nafas, berharap jawaban sederhanaku cukup untuk memantik pemahamannya. “Maaf kalau jawabanku tidak luas. Tapi semoga ini sedikit bisa membantu.”

“Di dunia ini, tidak ada istilah apa gunanya, percuma dan semacamnya yang mengandung arti meremehkan. Bahkan sekecil apa pun kebaikan, itu akan diganjar oleh Allah. Begitu juga sebaliknya. Sekecil apa pun suatu perbuatan, pasti memiliki konsekuensi dan risiko. Apalagi menjalankan kewajiban yang sudah jelas perintah, sebab dan akibatnya – bagi yang mengimaninya, seperti shalat, suatu ritual peribadahan yang wajib dijalankan bagi setiap orang muslim karena itu merupakan rukun Islam kedua. Konsekuensi dari mendirikan shalat adalah tercegah atau terhindar dari perbuatan keji dan munkar – dengan catatan shalatnya dilakukan dengan benar. Dan yakinlah, tidak akan sia-sia bagi pelaku ibadah shalat di kemudian hari. Diterima atau tidaknya shalat kita, itu merupakan hak prerogatif Allah. Jadi, jangan ikut campur urusan Allah yang satu itu.” Aku tertawa. Dan dia pun ikut tertawa.

Jawaban yang aku berikan itu berdasarkan ilmu syariat. Ilmu syariat dalam menentukan segala perkara ditinjau dari segi eksistensinya. Dan memberikan jawaban atau penjelasan terhadap suatu perkara kepada seseorang yang sedang mencari tahu jati dirinya dalam beragama tidaklah boleh sembarangan. Salah sedikit yang berkelanjutan tanpa adanya pembenaran, maka akan berakibat fatal.

Tentunya, ada kaidah-kaidah tertentu dalam mengatasinya. Dan kaidah-kaidah itu sering kita temukan dalam kehidupan kita dari orang terdekat kita, yaitu guru. Guru – dalam mendidik, memberikan pemahaman hingga mengajarkan banyak hal kepada muridnya – yang pertama dilakukannya adalah memperkenalkan eksistensi dari suatu perkara atau benda itu sendiri. Karena memperkenalkan dan memahamkan eksistensi suatu benda atau perkara itu adalah hal yang bersifat urgen. Gampangnya, bagaimana seorang anak menghormati orang tuanya jika dia tidak tahu asal muasal dirinya dari apa, siapa dan mana serta adanya orang tua sebagai makhluk yang harus dihormati; dan bagaimana bisa seorang remaja bisa mengenal apa itu cinta tanpa dia ‘pelajari’ terlebih dahulu dasar-dasarnya.

Dan itu kaidah umum pertama. Setelah dirasa cukup mengetahui eksistensi dari segala sesuatu, baru seseorang bisa melangkah ke tahap realisasi kaidah umum kedua, yaitu esensi. Dan inilah bagian yang tidak mudah dan tidak hanya sekadar ‘memberi dan menerima.’ Memberi yang artinya guru menjelaskan teori kepada muridnya dan menerima yang artinya murid menerima penjelasan gurunya. Esensi perlu dipahami menggunakan akal, logika dan nalar. Dan terkadang diperlukan juga nurani sebagai alat untuk kontrol diri supaya tidak melampaui batas.

“Lalu Tuhan itu sebenarnya siapa dan (terbentuk dari) apa, Mas?”

Untuk pertanyaan itu, aku belum berani untuk menjawabnya. Karena aku belum begitu matang dalam penguasaan ilmu tauhid tentang wujud Tuhan, Allah swt. Dan aku hanya bisa mengatakan, “Maaf, Mas, itu bukan ranahku. Tapi kalau kamu ingin mendapatkan jawaban yang bisa menjelaskan secara detail, aku bisa mempertemukan kamu dengan seseorang yang insya Allah telah mumpuni ilmunya,” dengan berat hati karena tidak bisa memberikan jawaban kepadanya. Aku teringat pesan guruku, Ustazah Zubaidah, Lc., sewaktu aku masih duduk di kelas 2 MAK, ‘Jika kamu ditanya oleh seseorang dan ragu atau tidak bisa menjawabnya, katakanlah bahwa kamu tidak tahu atau semacamnya.’ Dan itu benar.

Kemudian dia melanjutkan pertanyaannya tentang asal muasal Al-Quran. Aku berusaha menjelaskannya dengan bahasa yang sesederhana mungkin. Agar bisa dipahami tanpa mengulang penjelasan berulang kali.

“Kita harus melihat sejarah dengan seksama. Dulu, Al-Quran diturunkan oleh Allah kepada Utusan-Nya, Nabi Muhammad saw., melalui Malaikat Jibril a.s. pada malam nuzulul quran. Kemudian Al-Quran disampaikan oleh Nabi saw. kepada para sahabatnya dan dihafal oleh mereka. Setelah Nabi saw. wafat, Al-Quran dibukukan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Dibukukan di sini bukan berarti diciptakan. Melainkan dikumpulkan sebagaimana arti dan maksud dari dibukukan. Itu poin pertama. Poin kedua, bahwa Al-Quran merupakan kalam Allah dan kalam bagi Allah merupakan sifat wajib bagi-Nya. Dan yang namanya sifat wajib bagi Allah itu harus ada eksistensinya dalam dzat-Nya dan bersifat menyatu, dengan kata lain qadim atau dahulu dan tak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, Al-Quran tidak bisa disebut makhluk atau sesuatu yang diciptakan.

Dan masih banyak lagi obrolan-obrolan lainnya. Termasuk terkait agama manakah yang sebenarnya paling benar? Mungkin, akan aku lanjut di lain waktu, insya Allah.