Manusia Hanya Mengejar Keuntungan dan Menjauhi Kerugian

Sumber: pixabay.com

Ketika kehidupan telah ‘menyuguhkan’ beragam fenomena kepada manusia, saat itulah kebesaran hati manusia diuji. Fenomena-fenomena yang dengan atau tanpa sepengetahuan dan persetujuan mereka, terjadi begitu saja sebagai suatu jalan takdir kehidupan. Takdir, yang artinya ketentuan yang pasti dan tak dapat dihindari. Dan manusia, dengan segala kesempurnaannya, melintasi garis waktu yang silih berganti sebagai penyandang predikat khalifah (baca: pemimpin). Itu saja, terkadang masih melupakan kodratnya sebagai makhluk pilihan di muka bumi ini.

Bahkan, pada kebanyakan kasus, manusia tak jarang mengedepankan hasrat egosentrismenya untuk mencapai dan menggapai segala impian-impiannya. Sehingga terjadilah kompetisi-kompetisi sengit antar sesama dengan menghalalkan berbagai cara. Mereka tertarik untuk mencicipi semua suguhan yang dihidangkan oleh kehidupan. Tak boleh ada yang terlewatkan, pikir mereka. Seakan suguhan itu hanya diperuntukkan kepada ‘mereka’ yang mereka pikir mereka bisa mendapatkannya secara cuma-cuma tanpa ada konsekuensi dan risiko yang harus dibayar di kemudian hari.

Padahal kedua hal itu, konsekuensi dan risiko, merupakan harga yang harus dibayar bagi setiap pelaku suatu tindakan. Kecil, muda, tua, dewasa, anak-anak, kaya maupun miskin. Tindakan yang baik maupun yang buruk. Semua memiliki ketentuan yang sama. Tak ada pengecualian. Sebab begitulah kehidupan ini bekerja. Selalu ada sebab dan akibat yang beriringan. Tetapi, sedikit sekali manusia yang menghiraukan hal-hal semacam itu. Yang ada dalam pikirannya hanyalah kata keakuan. Aku harus begini, aku harus begitu. Hal itu diperparah lagi dengan hasrat yang menginginkan semua orang harus mengikuti seluruh kemauannya.

Memang, tindakan seperti itu memiliki dua cara pandang yang berbeda, sebutlah sebuah refleksi dari relativitas suatu penilaian di mana ia ditempatkan. Ada kalanya tindakannya baik secara de jure, tetapi secara de facto memiliki dampak yang buruk. Ada pula kalanya suatu tindakan yang terlihat buruk, tetapi memiliki hasil akhir yang baik. Dan ada juga yang terlihat samar di awal dan akhirnya. Semua tak menentu dan tak bisa ditentukan secara pasti. Manusia hanya mengejar keuntungan dan menjauhi kerugian.

Naifnya, mereka tak memikirkan kerusakan-kerusakan tak kasat mata yang dihasilkan dari tindakan-tindakannya. Lisan yang ‘menyuarakan’ keadilan dan kesejahteraan, tangan yang ‘melindungi’ kekerasan dan kelaliman, kaki yang ‘tak kenal lelah’ bergerak mencari ‘mangsa,’ hingga otak yang ‘memikirkan jalan keluar’ dari masalah yang sedang dihadapi kelompoknya. Semua itu, ya, sebuah dalih yang terkandung dalam sebuah misi satu kata keakuan, yang mereka yakini mampu mendobrak gerbang petahana yang selama ini bungkam terhadap ‘kebenaran mereka.’

Akan tetapi mereka melupakan sesuatu. Bahwa harta, takhta, kehormatan, ketenaran, kelihaian bersilat lidah, nasab, semua itu tak ada artinya lagi jika mereka tak mampu meneladan sosok yang mereka agung-agungkan untuk meneladani orang-orang yang menuhankan mereka. Meneladan yang berarti mencontoh. Dan meneladani yang berarti memberi teladan.

Menjadi seorang teladan tak ubah selayaknya sebuah pelita. Dia akan memantulkan bayangan yang akan diikuti oleh para pemujanya ke mana pun dia melangkah. Sekalipun langkah yang diambil bertentangan dengan hati nurani. Pemuja tetaplah pemuja. Dan pelita selalu benar atas segala sabdanya.

Memang sebuah ironi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini. Tak sedikit dari mereka yang memahami mana yang menjual simbol-simbol keagamaan hanya untuk memuaskan hasrat dari ambisi mereka, dan mana yang benar-benar membela kebenaran sesungguhnya.

Seharusnya kita tahu bahwa misi yang mereka bawa merupakan sebuah refleksi relativitas. Begitu pula dengan panji kebenaran yang mereka usung. Tentu semua itu bersifat relatif. Tak ada kebenaran yang bersifat mutlak di dunia ini kecuali kebenaran milik Allah swt., Tuhan semesta alam. Begitu pula dengan tulisan ini, yang hanyalah sebuah refleksi dari kegelisahan diri terhadap fenomena-fenomena yang semakin marak. Sehingga istilah menuhankan seseorang yang memiliki ‘gelar suci’ tak lagi dijadikan sebagai tameng dalam membela kebenaran, apalagi membela diri.

Padahal, meskipun manusia memiliki beribu-ribu rencana untuk mendapatkan ambisinya dengan menghalalkan berbagai cara, tetapi keputusan akhir ada di tangan Tuhan. Ketika Dia berkata, ‘Cukup!’, maka semua akan berhenti saat itu juga. Tak ada yang bisa melawan. Tak ada yang bisa menolak. Tak ada pula yang bisa merencanakan kembali strategi baru. Semua ambisi bisa sirna dalam sekejap jika tak diimbangi dengan kontrol diri yang baik. Karena Tuhan tahu mana yang terbaik untuk seluruh umat manusia. Meskipun harus ada ‘mahar’ yang harus dibayar.

Bagaimana menurutmu?

Satu-satunya Kepastian di Dunia Ini adalah Perubahan dan Perbedaan

Sumber: pixabay.com

Guys, pernah gak kamu menerima suatu tindakan, ucapan, sikap hingga pernyataan seseorang yang hampir selalu berulang-ulang dengan nada judgement? Misalnya yang sering terjadi, kamu sudah berubah sekarang, kamu yang sekarang berbeda dengan yang dulu, kamu berbeda dengan dia yang masih sama seperti dulu, dan lain sebagainya yang senada dengan itu.Lalu, apa respons kamu terhadap semua itu? Aku yakin, kalian pasti ‘tersentak’ ketika mendengar ungkapan seperti itu. Apalagi jika semua itu tertuju kepadamu.

Ketika mendengar kalimat-kalimat seperti itu untuk pertama kalinya, pasti benak kalian bertanya-tanya, apa yang berubah dariku? Atau, sepenggal kata, apa? Atau bahkan hanya terdiam dan memunculkan tanda tanya besar di seluruh tubuhmu. Selalu. Sebuah pertanyaan kritis yang timbul secara alamiah kepada diri sendiri terhadap subjek yang memantik terciptanya emosional diri. Tanpa dilatih. Dan tanpa harus berpikir dua kali untuk mencari jawaban atas ‘tuduhan’ tersebut. Atau yang bisa kita sebut sebagai rasa skeptis. Sebuah rasa yang sudah tertanam dalam setiap sel-sel saraf tubuh manusia sejak terlahir ke dunia.

Dalam ilmu psikologi, skeptis adalah suatu sikap kecenderungan untuk meragukan pendapat orang lain. Dan itu merupakan modal utama manusia untuk terhindar dari segala sesuatu yang berpotensi merusak dan merugikan. Baik bagi diri sendiri, orang lain maupun tatanan kehidupan. Skeptis juga berfungsi untuk memastikan kebenaran dari suatu berita yang diterima. Juga berfungsi untuk mencari jawaban dari rasa penasaran diri terhadap sesuatu. Seperti yang aku singgung di atas.

Dari sifat skeptis itu kemudian kita berusaha untuk mencari tahu jawabannya. Dan keputusan ada di tangan kita, apakah akan kita lontarkan pertanyaan apa dengan tanda tanya besar itu atau justru menyimpannya karena kita sudah tahu jawabannya secara tiba-tiba. Karena setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap suatu fenomena.

Ada satu hal menarik dari ungkapan itu. Manusia dengan segala keunikannya akan berbeda-beda dalam merespons ungkapan-ungkapan seperti itu. Ada yang apatis seolah itu bukan hal yang penting untuk dibicarakan. Ada yang tersentak seolah itu berita yang menggelegar bak petir. Ada yang penasaran seolah itu berita bagus untuk didengar. Ada yang tak menyangka karena begitu perhatiannya orang lain terhadap dirinya. Dan ada pula yang tersinggung, seolah ungkapan yang dimaksud bertujuan menyingkap sesuatu yang negatif dalam dirinya. Semua itu relatif, nisbi, yang sudah menjadi hukum alam sejak awal terbentuknya manusia.

Memang bukan hal yang aneh, ketika seseorang melihat sisi lain dari kehidupan kita. Apalagi jika dalam kurun waktu yang lama kita tak pernah bersua dengannya. Apa pun pasti akan diungkapkan kepada kita. Dan yang sering terjadi, ungkapan pertama yang akan didengar oleh telinga kita selain kabar adalah ungkapan seperti itu. Dan, ya, itu merupakan hal yang lumrah – bagiku, bagimu dan bagi orang lain.

Akan tetapi, bagiku, dan entah bagimu dan orang lain, menjadi aneh bila ungkapan itu diungkapkan untuk tujuan yang bersifat menghina atau ‘menjatuhkan.’ Menjatuhkan dalam arti yang sesungguhnya. Bukan kritik satire yang membangun bernada empati. Walaupun bagi sebagian orang, hal ini sering terjadi dan dirasakan langsung olehnya, namun lebih memilih untuk tak mempermasalahkannya. Namun, untuk alasan apa hal itu dilakukan?

Tentu, kebebasan berpendapat dan menyampaikannya langsung kepada orang yang bersangkutan merupakan siklus kepuasan hasrat manusia. Atau istilah Jawanya, yen ora ngomong ora bombong, kalau tak mengungkapkannya maka tak akan puas. Akan tetapi, yang sering terlupakan oleh manusia adalah etiket dalam menyampaikan pendapatnya dan cara untuk mengawalinya, sebutlah uneg-uneg. Dan mereka juga lupa, bahwa – menurut hematku – satu-satunya kepastian di dunia ini adalah perubahan dan perbedaan. Yang tak berubah adalah perubahan dan perbedaan itu sendiri. Itu adalah fakta (sunnatullah).

Dan yang terpenting dari itu semua sekaligus PR bagi kita adalah budaya menjaga perasaan orang lain – yang masih minim di negeri tercinta kita ini.

Salam damai Indonesiaku.

Sisi 'Baik' Bangsa Ini, Bangsa Indonesia

Sumber: pixabay.com

Indonesia memang belum bisa seperti luar negeri yang serba tertata tatanan kehidupannya, Indonesia masih kalah jauh dari negara-negara lain dari banyak aspek, aku kelak ingin tinggal di luar negeri yang jauh lebih baik dari Indonesia ideologi, kultur dan pendidikannya, atau yang lebih parah dari itu, halah! Indonesia mah gak ada apa-apanya! Merdeka saja sudah syukur. Dan lain sebagainya dari ungkapan-ungkapan separatis.

Dari kecil aku bingung ketika banyak orang menggerutu dan ‘memaki-maki’ negeri sendiri. Banyak alasannya mereka bertindak seperti itu. Ada yang bilang karena mereka tidak mendapatkan bantuan pemerintahan. Ada yang bilang karena mereka membenci rezim pemerintahan yang tengah menjabat saat itu. Ada pula yang bilang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang bodoh, bangsa yang tertinggal, tertindas dan tak berpendidikan.

Saat aku mendengar semua alasan itu, aku tak merasakan apa pun. Aku hanya melihat ekspresi yang aku artikan sebagai ungkapan rasa kesal mereka karena tak tercapai keinginannya. Usiaku yang masih terbilang anak-anak saat itu membuatku tak mengerti apa yang mereka omongkan.

Tetapi, setelah aku beranjak remaja, aku baru menyadari sesuatu. Aku menyadari bahwa hatiku merasa tersayat oleh perkataan-perkataan mereka yang tak berdasar itu. Umpatan-umpatan yang timbul karena ketidakpuasan mereka terhadap pelayanan publik dari pemerintah. Dan yang lebih parah lagi, mereka mengumpat dan menghujani sumpah serapah kepada negara sebab dihasut oleh orang lain. Artinya, tindakan mereka tidak mendasar. Sungguh naif, bukan?

Dan sekarang aku sudah dewasa – secara usia. Tak sedikit koridor kehidupan di dunia ini yang telah aku lalui. Koridor-koridor yang menyajikan berbagai pelajaran hidup sebagai manusia yang memiliki visi dan misi kemanusiaan. Manusia, sebagai makhluk yang seharusnya bisa memanusiakan manusia.

Bahkan, maaf, aku berani dengan lantang dan penuh percaya diri mengatakan, pengalamanku lebih jauh mengelana dari pada mereka – yang hanya bisa duduk mengumpat siapa pun yang terlintas di pikiran mereka. Meskipun usiaku tak lebih tua dari mereka. Setidaknya, jika mereka pernah berjalan lima langkah, aku harus berjalan selangkah lebih jauh dari mereka, walaupun hanya berjalan di pematangan sawah.

Sakit. Juga sedih dan miris. Mereka yang tak tahu apa pun dengan mudahnya terhasut. Terdoktrin oleh mulut-mulut pengujar kebencian. Padahal mereka memiliki kemampuan untuk tabayun dengan akal sehat dan hati nuraninya. Untuk membuktikan validitas dari suatu pernyataan yang sensitif dan krusial.

Untuk apa berpendidikan dan berpangkat tinggi, bergelimang harta serta dipuja-puja jika hatinya masih dipenuhi oleh kedengkian terhadap negeri sendiri. Padahal hidupnya saja bergantung pada belas kasih dari tanah yang mereka pijak.

Banyak hal yang bisa dibanggakan dari negeri ini. Kesuburan tanahnya yang tak dimiliki oleh negara-negara lain di belahan benua Afrika. Toleransi antar umat beragamanya yang tak dimiliki oleh negara-negara lain di belahan benua Amerika dan Eropa. Keramahan bangsanya yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Semangat kreativitas pemuda-pemudinya untuk memajukan bangsa dan negerinya dalam berbagai aspek. Hingga kegigihan pemerintah untuk terus meningkatkan kesejahteraan rakyat, kelengkapan infrastruktur dan pelayanan publik, serta memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia yang direnggut oleh negara lain.

Oh, satu lagi, letak geografis Indonesia yang berada di tengah garis khatulistiwa, diapit oleh dua benua dan dua samudera, membuat iklim Indonesia memiliki iklim yang sedang atau tropis. Iklim yang didamba-dambakan oleh penduduk benua Afrika. Dikutip dari Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah menjelaskan bahwa letak geografis suatu negara sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, di antaranya iklim. Iklim, menurut Ibnu Khaldun, Bapak Ilmu Sosiologi Islam, sangat mempengaruhi pembentukan karakter manusia yang tinggal di wilayahnya. Sehingga wajar bila penduduk garis khatulistiwa lebih baik dari pada penduduk kedua sisinya.

Hm. Andai kata mereka mampu membuka mata lebih lebar, gumamku dalam hati. Sehingga peribahasa ‘gajah di pelupuk mata tak tampak, sedang tampak semut di seberang lautan’ mungkin tak akan ada di kamus.

Baiklah. Aku ambil contoh perbandingan di Tunisia, negara yang terletak paling utara di Afrika dan diapit oleh Aljazair, Libya dan Laut Mediterania, misalkan. Infrastruktur, teknologi, struktur tanah, iklim hingga sistem pendidikannya tak jauh lebih baik dari pada di Indonesia. Semua yang ada di sana, sudah pasti ada di Indonesia, tetapi, semua yang ada di Indonesia, belum tentu ada di sana – tentu hal itu merupakan yang bersifat umum. Dan, ya, itulah yang aku lihat. Begitu juga dengan negara-negara tetangga.

Oleh karena itu, untuk bisa bersyukur terhadap apa yang kita miliki, kita harus melihat ke bawah. Sedangkan untuk bisa berkembang dan maju, kita harus melihat ke atas. Bukan sebaliknya. Dan yang lebih penting dari pada itu, lakukanlah yang terbaik untuk negeri ini. Terbaik dalam arti yang sesungguhnya. Bukan versi sendiri, bukan pula orang lain.

Dia yang Tertuduh

Sumber: pixabay.com

Ada sebuah kisah – yang ingin kuceritakan kepada kalian.

Pada suatu hari yang tenang dan damai, angin menghembus sepoi-sepoi dan ranting pohon meliuk-liuk mengikuti hembusannya, ada sebuah kejutan yang tak terduga-duga datang kepada seorang lelaki dewasa bernama Richard. Nama yang indah, bukan? Tetapi, saat ini, saat cerita ini dibuat, nasib hidupnya tak seindah namanya. Meskipun begitu, dengan namanyalah dia bisa melanjutkan hidupnya hingga saat ini, saat cerita ini dibuat, penuh dengan keyakinan, ketegaran, kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan.

Hari itu, setelah beberapa minggu dia melakukan perjalanan panjang, dia memutuskan untuk menemui kembali pemilik gedung pertemuan di sebuah kota. Entah dengan alasan dan tujuan apa, dia tak tahu pasti. Yang dia yakini, dia harus datang menemuinya untuk sebuah alasan yang akan dia ketahui nanti. Apa yang akan terjadi setelah itu, biarlah alam yang menentukan.

Dengan langkah yang berat, dia memantapkan diri untuk masuk ke dalam gedung itu. Meskipun pikirannya dipenuhi oleh banyak hal dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dia, orang yang hidupnya penuh dengan kepasrahan, membiarkan semua yang akan terjadi biarlah terjadi. Dan dia benar. Bukankah manusia tidak mampu menentukan masa depan? Bahkan sedetik ke depan sekalipun?

Membutuhkan waktu baginya untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat. Keputusan antara ‘hidup atau mati.’ Hidup yang berarti terus berjuang memperjuangkan hak hidupnya dan segala hal yang ada di dalamnya. Mati yang berarti putus asa, memutus benang-benang merah kehidupan.

Dia terus melangkahkan kakinya menuju lokasi yang dituju. Panas terik matahari yang menyengat tak membuat goyah tekadnya. Peluh yang menetes di dahinya dia seka dengan bahu telapak tangannya. Hidup harus terus berjalan, serunya dalam hati.

Setibanya di lokasi gedung itu, dia mendapatkan ‘sambutan’ yang ramah dari pemilik gedung.

“Silakan, masuk!”

Dia mengangguk pelan. Masih belum berkata-kata. Matanya tertuju pada koridor ruangan gedung itu. Memperhatikan sebuah pintu ruangan yang pernah dia tempati beberapa waktu silam.

Gedung itu tak cukup megah jika dibandingkan dengan gedung-gedung pertemuan di tengah kota-kota besar. Hanya karena atap bangunannya yang tinggi, membuat gedung itu terlihat lebih lega dan leluasa.

Hening.

“Aku kira kau tak akan datang lagi kemari. Lama tak ada kabar darimu. Apa saja yang kau lakukan selama berada di luar sana?” Suara pemilik gedung memecah lamunannya.

Pemilik gedung itu terus menghujaninya dengan ratusan pertanyaan dan ‘tuduhan.’ Membuatnya kewalahan dalam menjawab dan menangkisnya. Dan dia, dengan nafas yang masih terengah-engah dan keringat bercucuran, berusaha menjawab semua pertanyaannya. Juga memasang argumen terhadap ‘tuduhannya.’

“Memang tuan perintis sangat peduli dengan masa depan karier anakku. Ketika dia mengajukan ‘proposal’ pada tempo hari, apakah kau layak untuk mendapatkan kepercayaan di dalam memperjuangkan kariernya, dia meminta kepadanya agar ditampakkan ‘keahlianmu’ dalam bekerja.” Suaranya menggelegar. Penuh dengan amarah. Matanya terlihat begitu merah membara.

Dan dia masih berusaha mencerna kalimatnya. Termenung. Apa maksudnya?

“Begitu juga sebaliknya, dia meminta agar ditampakkan ‘kecerobohanmu’ dalam mengemban kepercayaan itu. Dan tuan menerima proposalnya, terjadilah. Terbukti bahwa kau tak dapat mengemban kepercayaan itu. Kau telah ‘mengkhianati dan menghancurkan’ kepercayaan kami.” Tangan pemilik gedung itu mengacung ke arah mukanya. Tatapannya tajam.

Meskipun daya tangkapnya berkurang karena kelelahan, dia sungguh-sungguh merekam semua perkataannya. Untuk dipahami di kemudian hari.

Lalu dia bergumam dalam hati, benarkah semua itu? Apakah ini nyata? Mengapa? Tatapannya tiba-tiba kosong. Untuk apa dia, anaknya, mengajukan proposal banding seperti itu? Bukankah itu sebuah tindakan hipokrit terlarang?

Dari seluruh perkataan pemilik gedung dari awal hingga akhir, hanya itu yang membuatnya terdiam membisu. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya.

Dia masih terdiam, termenung. Kedua matanya hanya terarah pada meja kosong di depannya. Sejurus kemudian pemilik gedung itu bangkit dari kursinya, melangkah pergi meninggalkannya. Sendiri, tanpa jamuan.

Baru lima langkah, dia membalikkan badan ke arahnya, “Semoga ke depannya kau bisa lebih baik lagi melakukan tugasmu.” Tersenyum tipis.

Hari-hari berikutnya, kalimat itu masih melekat erat di dalam benaknya. Baginya kalimat itu membuatnya merasa aneh. Ketika sudah bertahun-tahun mengenalnya dan bekerja sama dengannya, anak pemilik gedung itu tanpa rasa bersalah mengajukan proposal banding kepada tuannya. Apakah hanya karena dia merasa lebih dekat dengan tuannya kemudian bisa melakukan apa pun yang dia inginkan saat hatinya merasa terusik oleh bisikan-bisikan keraguan itu?

Hatinya terus bergumam. Bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Berharap suatu hari nanti, dia bisa mendapatkan jawabannya. Sebuah jawaban yang akan menghentikan arus waktu masa lalu di masa depan. Karena dia yakin, itu bukan murni kesalahannya.

Dia hanya menunggu waktu. Hanya waktu yang bisa menentukan jawabannya. Dan memutuskan yang terbaik untuk semua.

Suatu Hari di Teras Masjid Kompleks

Saat itu, gerimis mengguyur kompleks masjid dari siang hingga malam. Aku duduk di teras depan masjid bersama beberapa warga yang selesai berjamaah. Menikmati suara gerimis yang terdengar berirama. Lembut. Membawa kedamaian dan kesejukan bagi seluruh hati yang sedang kekeringan. Rintik-rintiknya meninggalkan bekas riak di atas genangan-genangan air di lapangan basket depan masjid. Seakan mereka sedang membuat sebuah pola bertumpuk.

Terlihat anak-anak yang tengah bermain bergembira ria di bawah guyuran gerimis. Mereka terlihat bahagia. Tertawa. Berlarian. Hingga menyepak genangan air di lapangan sampai mengenai tubuh temannya. Bahkan ada satu-dua dari mereka berseluncur bak di water boom. Aw..! Ngilu melihatnya.

Di tengah kesyahduan itu, aku membuka obrolan ringan di tengah-tengah jamaah yang tersisa di masjid. Sambil menerima kopi buatan Pak Marbut.

“Pak, bagaimana perkembangan masjid? Apakah sudah ditentukan agenda-agenda terbaru untuk tahun depan?”

Lelaki paruh baya berdarah Bugis Sulawesi itu mengubah posisi duduknya. Terlihat senyumnya mengembang di kedua pipinya. Antusias dengan pertanyaanku.

“Oh, alhamdulillah sudah, Mas Roy.” Suaranya terdengar antusias.

Lalu tangan kanannya mengambil secangkir kopi yang berada di depannya. Seakan obrolan ini begitu penting. Sehingga tidak boleh bila tenggorokan sampai kering dan lidah terasa hambar.

“Bahkan,” lanjutnya, “kita akan mengadakan renovasi masjid besar-besaran. Dan salah satu donaturnya adalah Pak Wahab. Kita sudah memusyawarahkan bersama, bahwa renovasi ini bertujuan untuk memakmurkan masjid dan jamaahnya.”

Aku masih mendengarkan penjelasannya dengan seksama. Seorang bapak yang berambut gondrong di sebelah kananku turut menyetujui langkah-langkah yang diambil pengurus masjid. Disusul Pak Muhammad yang selalu mendukung langkah-langkah moderat yang diambil oleh Pak Ahlu, lelaki berdarah Bugis. Mulai dari kepanitiaan yang terdiri dari semua kalangan, para donatur yang tanpa pamrih mendonasikan sebagian rezekinya, hingga kegotong-royongan membangun dan memakmurkan masjid dengan keringat pengurus, panitia dan juga warga.

“Bahkan Pak Wahab mengatakannya sendiri dengan jelas. Bahwa ikatan ukhuwah menjadi kunci utama perdamaian sesama muslim. Tidak ada lagi saling tuduh menuduh, sikut menyikut dan jatuh menjatuhkan.”

Tak kusadari, secarik senyum mengembang di kedua pipiku. Hatiku juga seperti dihujani bunga embun. Wajahku pun tampak disoroti oleh cahaya terang. Sangat terang. Sampai aku mengercitkan mataku karena saking silaunya.

Dan ternyata, Pak Marbut tengah menjailiku dengan lampu motornya, seraya berseru, “Mas Roy! Kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Sedang memikirkan siapa, ngomong-ngomong?!”

Aku terkejut. Dan langsung melipat senyumku.

“Ayo pulang. Yang lain juga sudah beranjak ke rumah masing-masing.” Ajaknya.

Aku gugup. Juga malu.

Ternyata, apa yang aku lihat dan rasakan baru saja hanyalah sebuah ilusi.

Ah! Begitu rupanya. Gumamku dalam hati.